Prolog

243 27 3
                                    

Mata perempuan itu merah, nyaris senada dengan gaun yang ia kenakan sekarang. Belum pernah ia merasa seperti sekarang, dipermalukan dan direndahkan. Tangannya terkepal, selaras dengan giginya bergemeretak demi menahan amarah.

Ingatannya sekilas melayang kepada sosok yang tergantung di sebuah ruangan, dengan lidah terjulur dan wajah membiru. Perempuan itu takkan bisa melupakannya sampai kapanpun. Namun, melihat apa yang ada di hadapannya saat ini, ia pun tergoda untuk ikut menyusul menggantung dirinya di langit-langit.

Bibirnya bergetar. Tidak. Tidak bisa. Hatinya kepalang sakit, tak bisa reda hanya dengan menyongsong maut. Ia tidak mau. Yang ia mau, jika diharuskan kehilangan nyawa, maka orang yang menyakitinya juga ikut. Ia tidak mau kesakitan sendirian. Rasa nyeri yang menusuk-nusuk hati dan jantung, tak mau ia rasakan hanya seorang diri. Orang yang menyebabkan rasa sakit itu harus merasakan hal yang sama. Harus! Tidak boleh tidak.

Air mata yang tadinya mengalir deras dan membanjir di wajah, ia susutkan segera. Tangannya segera mengusap bekas yang tersisa. Tidak boleh ada air mata lagi demi orang yang sudah membuatnya sakit hati. Mereka yang harus menangis bahkan kalau perlu bersujud dan bersimpuh di kakinya.

Nurjannah—nama perempuan itu—berdiri dengan tegap dan mendesahkan napas yang sudah mulai teratur setelah tadinya tersengal-sengal. Matanya tajam dan nyalang menyorot ke arah depan, tak lagi gentar dengan apa yang ia takutkan sebelumnya. Ia telah mengumpulkan segenap keberaniannya, lalu menghampiri seonggok tubuh lelaki yang tak berdaya dan berlumuran darah yang tergeletak di atas meja.

"Nur ...." lirih suara yang memanggilnya itu membuat Nurjannah bergidik.

Perempuan itu mencoba terlihat dingin dengan mengacuhkan lelaki itu dan berbalik pergi.

"Tolong aku, Nur ...." Suara lelaki itu menyayat hati, seharusnya bisa membuat iba siapapun yang mendengar, tapi bukan Nurjannah. Ia tak mau lagi terpengaruh. Ia sudah memantapkan hatinya untuk tidak berbelas kasih. Saat ia melihat sekelebat bayangan seseorang pergi dari sana, ia tidak tergerak untuk mengejarnya. Nurjannah menoleh sekilas ke arah lelaki yang sekarat itu, kini dengan napas tersengal-sengal, tak kuasa bahkan untuk berbisik atau bersuara. Namun, lelaki itu masih berusaha keras memanggil nama perempuan yang hanya mematung memandanginya sekarang.

"Nur ...."

"Nurjannah sudah mati." Bibir perempuan itu terkatup. Ia tak mau lagi melihat sosok lelaki yang kini sudah gelagapan mengambil napas, memaksa paru-parunya bekerja keras dengan sisa-sisa tenaga. "Aku Jenna. Namaku ... Jenna."

Perempuan itu berdecak, kemudian berlalu dari sana. Meninggalkan lelaki itu menjemput kematiannya sendirian. Nurjannah hanya ingin menghilangkan rasa sakit hatinya dan melanjutkan hidup. Persetan dengan lelaki itu dan semua orang yang sudah membuatnya terjerembap ke dalam lubang penderitaan. Ia akan membuat siapapun yang menyakitinya merasakan kesakitan berkali-kali lipat dari yang ia rasakan.

Setelah itu, ia menutup pintu ruangan dan menguncinya. Langkah kakinya semakin ringan tatkala menjauh dari ruangan di mana lelaki sekarat itu berada. Ia tidak peduli oleh siapa dan bagaimana cara lelaki itu mati. Mungkin saja Tuhan sedang berbaik hati mengabulkan doanya. Kalau memang Tuhan itu ada. Namun, apa pedulinya?

Bibir perempuan itu tersenyum saat mengingat ia punya sesuatu yang baru dalam hidupnya. Jenna. Nama yang lebih modern dan merepresentasikan kebutuhannya untuk menjadi seseorang yang baru. Ia bukan lagi Nurjannah yang lugu dan manis.

Ia Jenna. Dan ia siap menyongsong lelaki yang bisa memuaskan keinginannya.

*prolog*

Hai, Keliners, Karma is back! Jadi karena tahun ini Karma membawa genre favoritku, aku pun pengen meramaikan keseruannya. Kali ini ceritanya agak sedikit di luar genre yang kutulis ya, Kels.

BTW, ini untuk pertama kalinya aku menyematkan 21+ untuk ceritaku ya. Yang ini sangat tydack ramah untuk remaja. Ih, ada adegan ranjangnya?

Ampun, deh. Mainmu kurang jauh ya. 21+ tidak melulu ranjang, Sayang. Tapi kekerasan, kata-kata kasar, penyiksaan, pembunuhan dll itu jatuhnya sudah 21+. Butuh rentang usia yang cukup untuk bisa mencerna dan memahami adegan-adegan tersebut. Dan aku emang sengaja mempersiapkan cerita  yang bergenre dewasa ini sekarang, setelah ingin lepas dari cerita yang "aman". Apalagi genre misteri/thriller begini. Tidak cocok untuk kesehatan jantung 🤭 Pokoknya Karma kali ini benar-benar favoritku banget genrenya, sampai galau milih banyak ide (banyak kover juga yang ku bikin dengan aneka judul 🤭), sampai akhirnya milih yang ini.

Buat yang ngarep baca cerita ini buat cari adegan ena-ena, husss sana jauh-jauh.

Buat yang pengen cerita dengan penuh ketegangan, siapin cemilan dan duduk yang nyaman, karena sampai sebulan ke depan, Jenna cs akan menemani kalian. So, see ya tomorrow 😁😉

Update tanggal 17 Juli : Aku lagi ngerevisi semua babnya ya, Kels. Jadi jangan kaget kalau tiba-tiba ceritanya beda.

Nyonya DurjanaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt