Man Eater

82 12 0
                                    

Seorang lelaki berperawakan tegap mengerutkan dahi menatap tumpukan berkas yang berserakan di atas mejanya. Ada beberapa lembar foto yang menunjukkan mayat dalam kondisi mengerikan. Baginya memang ini bukan hal baru. Ada yang lebih mengenaskan daripada mayat ini. Namun, dalam pikiran Ganda, lelaki itu, banyak variabel yang mencurigakan bahkan terasa mengganggu.

Jonathan Wijaya—nama korban tersebut—ditemukan tak bernyawa di sebuah mobil balap di sirkuit. Tampak seperti kecelakaan atau bunuh diri. Kalimat itu muncul begitu saja dalam benak Ganda, meskipun sebagai petugas Kepolisian, ia tidak diperbolehkan membiarkan asumsi pribadinya menyeruak keluar. Mungkin memang ini kecelakaan. Namun, beberapa data yang terlampir menyertai foto tersebut menguatkan asumsinya. Hingga ia kembali menemukan sebuah nama yang sepertinya sudah familiar sekali.

Nurjannah Salim.

Astaga. Bola mata Ganda berputar, rasanya lebih jengah daripada sebelumnya. Jemarinya segera memijat pelipis, berusaha menenangkan syarafnya yang berdenyut-denyut.

"Dengan segala hormat, klien saya, Nurjannah Salim a.k.a Jenna, memang bukan orang yang suci tanpa noda, bersih tak bercela. Klien saya memang hanya manusia biasa. Namun, ia tidak pernah berniat membunuh siapapun, apalagi suaminya, yang sangat ia hormati dan cintai."

Pernyataan David—kuasa hukum Jenna—menerobos hadir dalam ingatan Ganda, berputar terus seperti kaset rusak. Mengapa perempuan itu selalu hadir dalam kasus-kasus yang ia tangani akhir-akhir ini? Mengatakan bahwa ini sebuah kebetulan sungguh terasa getir dan aneh. Sudah sebelas orang—ralat, 12 orang dengan Jonathan Wijaya—yang berada dalam penanganan Ganda. Semuanya berakhir dengan bebasnya perempuan itu. Akal sehatnya sungguh ingin menyetujui vonis hakim, bahwa Jenna Salim tidak ada hubungannya dengan 12 orang itu. Pelaku pembunuh sembilan orang itu pun sudah berada di balik jeruji besi dengan beragam motif. Sementara dua orang lainnya dinyatakan menghilang dan belum ditemukan sampai sekarang. Kasusnya masih berusia tujuh tahun. Belum cukup lama untuk dipetieskan.

Ganda mengempaskan punggung ke sandaran kursi—merasa lelah bahkan sebelum kasus ini berumur dua puluh empat jam. Tidak bisa, ia membutuhkan bantuan. Seorang ahli. Sebuah nama menyeruak hadir di kepala. Benar, bibirnya melengkung ke atas, saat semangat membuncah dalam dadanya. Segera saja ia mengutip gawai di atas meja dan menelepon seorang kawan lama.

"Jav, sibuk gak lu?"

"Gue bukan film bokep, anjir. Ada apaan?"

"Gue butuh bantuan lu. Lu pasti suka sama yang ini." Ganda terkekeh dan mematikan panggilan tersebut. Ia mengirimkan beberapa berkas digital kasus lamanya kepada kawan lamanya itu, kemudian menantikan respons. Tak butuh waktu lama, ponsel Ganda berdering. "Gimana?"

"Lu nggak bisa ngatasin sendiri?"

"Buntu gue. Banyak kabel yang keputus, dan nggak nyambung." Ganda mengaku dengan enggan. Namun, mau tidak mau, ia harus bisa menuntaskan kasus ini sebelum kepalanya meledak jika menemukan nama ketiga belas yang akan menjadi korban dari Jenna Salim lagi.

"Siapa kali ini?"

"Jonathan Wijaya. Mati di dalam mobil balap. Wajah rusak dan hancur, beberapa anggota tubuh hilang misterius, tapi tidak ada di dalam kendaraan atau jalanan sekitarnya. Jam kematian sekitar jam satu sampai jam dua pagi. Nggak ada saksi." Terdengar umpatan dari seberang sana. Ganda terkekeh karena beberapa menit yang lalu ia merasakan frustasi yang sama. "Asyik, kan, kasusnya?"

"Siapa inceran lu?"

Ganda terdiam, kemudian melongok ke depan pintu ruangannya, berharap tidak ada yang mencuri dengar. "Jenna. Jenna Salim."

***

Gaun hitam yang ketat memeluk tubuh Jenna tampak berkilauan, ketika kakinya yang jenjang memasuki ruangan yang didesain dengan tema dewa-dewa Yunani. Perempuan itu mengerling ke arah lelaki yang menggandeng tangannya mesra, sebelum menghampiri beberapa perempuan sebayanya yang berkumpul di dekat patung Ares.

"Hello, Girls!" sapa Jenna, kemudian mendaratkan ciuman ke pipi para perempuan tersebut bergantian.

"Jenna! Wow! You look so georgeus!" Celine, yang berdiri paling dekat dengan Jenna segera melayangkan pujian. "And, who's this?" Alis perempuan itu terangkat menatap lelaki di sebelah Jenna.

"Brandon, right?" Tangan Ashley segera terulur ke depan lelaki itu, yang menyambutnya dengan antusias. Ashley merupakan teman Jenna sejak mereka bersekolah di Eropa.

Deretan gigi putih nan rapi segera dipamerkan oleh Brandon saat menyadari bahwa ada teman Jenna yang mengenalinya. Setelah basa-basi yang usang serta percakapan kering yang bergulir untuk mengisi kekosongan, Brandon berpamitan kepada geng perempuan sosialita itu untuk mengambil minuman.

"Really, Jenna? Brandon? Lu tahu dia penjudi, kan? He's so into that game!" tukas Ashley terang-terangan ketika memastikan lelaki itu tidak berada di sekitar mereka. "Gue curiga dia cuma mau duit lu."

Jenna hanya tertawa kecil, sembari mengibaskan tangan. "Don't worry, Babe. Money never bother me anyway."

"But, tell me ...." Seringaian terkembang di wajah Celine ketika berbisik mendekati Jenna. "... is he good at bed?"

Kelima perempuan lainnya segera mencondongkan badan ke arah Jenna, tak sabar mendengar jawaban dari perempuan itu. Bibir Jenna melengkung ke atas dengan kedipan mata jahil. "Ooh, Babe. I really love bad boys. They're soooooo mesmerizing, and have a nice ass too. And the sex? Mmmmm, magnifico." Jenna memejamkan mata dan mengerang. Kelima  temannya cekikikan dan segera menurunkan suara mereka ketika menyadari tamu-tamu yang lain menatap ke arah mereka. Suara musik klasik yang mengalun tidak menghentikan para sosialita itu kembali bertukar obrolan mengenai kehidupan mereka.

Ashley menyenggol tangan Jenna, saat ia bertanya, "And Brandon. Will you two be an item? Will you marry him?"

Jenna menghela napas, dan menggeleng samar. "Dunno. Think later." Namun, tatapannya terkunci pada sesosok lelaki yang baru saja melenggang masuk ke ruangan. Perempuan itu bahkan tidak sadar ia menahan napas selama beberapa detik sepanjang matanya mengekori langkah lelaki yang mengenakan setelan Armani, yang kini juga menoleh ke arah Jenna.

Sejenak, Jenna tidak bisa mendengar keramaian yang melingkupi ruangan pesta tersebut. Matanya jelas terpaku kepada lelaki Armani itu, tanpa berkedip. Celine mengikuti tatapan Jenna dan tersenyum penuh arti. Kedua sudut bibir perempuan berambut pendek itu terangkat dengan sorot mata mengerti. Segera saja ia membisikkan sesuatu kepada sahabatnya, yang sepertinya terkena panah asmara.

"Darling, gue kasih saran bagus."

Jenna tersentak dan melirik ke arah Celine, melemparkan kode isyarat yang hanya dipahami oleh mereka berdua karena lamanya pertemanan. "Apa itu, Babe?"

"Mari kita bikin afterparty di kelab biasa, tapi ... lu suruh si Brandon pulang."

Senyuman di bibir Jenna merekah. Ia kemudian mengerjap seolah memberi isyarat yang hanya mereka berdua pahami. Namun, Celine membisikkan sesuatu lagi, yang kali ini, membuat kedua mata sang nyonya muda terbelalak.

"So, get the party started, Darl." Celine melengkungkan jemarinya seperti cakar dan mengayunkannya kepada Jenna. "Rawr."

*episode02*

Nah, siapa cowok yang bikin Jenna lupa napas ini ya? Nasib Brandon gimana coba? Udah ditenteng ke sana kemari, tapi belum bikin Jenna lupa diri.

BTW, cerita ini kan ikut Karma season 7, yang setiap babnya itu punya kata kunci lho, Keliners. Kamu bisa cari kata kunci yang sama di antara 40 cerita (udah kubikinkan list juga di berandaku ya), di setiap babnya. Aku menyisipkan kata kunci atau keywords mulai bab 1, jadi prolog nggak diitung.

Kira-kira kata kunci apa ya yang ada di bagian ini? Ada yang bisa nebak? Yang tahu cuma member Kamaksara doang soalnya, Kels. Kalau kalian punya jiwa-jiwa semi detektif, boleh deh latihan nyari kata kunci bab ini. Kalo bagian sebelumnya atau part 1 kata kuncinya darah. Nah, ketemu nggak?

Sambil mencari, jangan lupa vote dan komen untuk cerita ini ya. Biar aku semangat nulisnya, apalagi masih harus menyisipkan kata kunci di bab selanjutnya. Mana bab berikutnya punya kata kunci aneh.

So see ya next episode ya Keliners,
DhiAZ

Nyonya DurjanaWhere stories live. Discover now