Sweet But Psycho

48 5 0
                                    

"Memangnya kamu sendiri suci, Jenna?" Martha berdiri dengan wajah merah padam. "Mama datang kemari dengan niat baik, mengingat keluarga kita pernah dipersatukan dalam pernikahan. Dan Mama tidak berniat meminta ...."

"Jenna tahu." Kepala Jenna mendongak, tak sudi menundukkan kepala. Pernikahannya dengan Nathan sudah berakhir sejak lelaki itu mati. Untung saja. Karena Jenna tidak bisa membayangkan kerumitannya kalau mereka sampai harus bertarung di pengadilan. "Tapi Jenna nggak sudi mengurus mobil-mobil balap punya Nathan. Kita tidak pernah tahu keringat siapa saja yang menempel di sana." Mimik wajah Jenna berubah menjadi sinis.

"Jangan bicara seolah kamu sendiri tidak berselingkuh, Jenna. Kamu sendiri malah menggoda bartendermu sendiri setelah pemakaman Nathan. Bahkan tanah kuburan Nathan masih belum kering!"

"Oh. Mama mendapat kisikan rupanya. Tapi ya terserah. Selama menikah dengan Nathan, Jenna setia. Sesuai perjanjian komitmen yang Jenna tanda tangani. Tapi setelah Nathan meninggal, ikatan antara kami berdua sudah usai. Jenna tidak perlu lagi menahan diri, bukan?" Tawa meluncur keras dari bibir perempuan muda itu. Tangannya kini bertengger di pinggang, tak mau lagi bersopan santun di hadapan mertuanya.

"Jadi begini kelakuan kamu?"

"Ma, tadi Mama kemari menangis dan menundukkan kepala karena Mama tahu bahwa bukan Jenna tapi Nathan anak Mama sendiri yang tidak setia. Mama bisa tanya kepada siapapun yang ada di sini. Selama Jenna berhubungan dengan seorang lelaki, Jenna tidak pernah sekalipun selingkuh dengan yang lain! Sekarang, kalau Mama masih ingin marah silakan saja. Jenna mau tidur."

***

Ganda tertawa terbahak saat mendapati wajah Javas yang masam pagi itu. Mereka kemudian menghabiskan waktu di sebuah warung kopi, dan bertukar cerita.

"Lu gagal?"

"Gue diborgol di kasur. Sialan. Dia udah tahu gue nyamar buat nyelidikin dia."

"Diborgol?" Tawa Ganda makin keras, membuat para pengunjung yang sedang bersantai menikmati kopi dan jajanan menoleh ke arah mereka. "Sok ganteng sih lu."

Javas menyesap minuman sehitam arang dari gelas, kemudian menyalakan rokoknya. "Anjing lu. Temen lu ketahuan lu malah ketawa."

Lelaki berambut ikal itu mendekati Javas dan berbisik, "Ini antara kita aja nih. Lu tidur nggak sama dia? Mainnya oke nggak?"

Mata Javas melotot ke arah sahabatnya. "Dasar otak lu ngeres!"

"Alah, nggak usah sok suci lu. Ngapain juga lu sampai diborgol di ranjang kalo nggak mau main sama dia? Ya kan?" Ganda terkekeh. "Pas diinterogasi sama anak buah gue, si Jenna sampai naik meja terus nyodorin kakinya gitu cuy. Si Andi sampai pucet mukanya!" Tangan lelaki itu memukul keras pahanya sembari tertawa. "Ngocok di kamar mandi abis nginterogasi!"

"Kampret!" maki Javas menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi gue masih bisa pake pendekatan lain sih. Mungkin kudu main cantik kalo sama si Jenna ini. Nggak bisa gue remehin, Bro! Kirain dia bakal kayak cewek-cewek lain yang nggak pernah pake otak."

Ganda mengambil sepotong pisang goreng dan mengunyahnya tanpa jeda. Setelah tandas, ia mengusap jemarinya yang berminyak ke celana kainnya. "Udah gue kasih tahu, kan. Dia itu nggak kayak cewek kebanyakan. Cewek itu biasanya kalo cantik, nggak pake otak. Kalo pake otak, biasanya nggak cantik. Tapi kalo lu nemu dua-duanya, cantik dan pake otak ... cewek gitu biasanya sikopat. Jenna salah satunya."

"Teori macam apa itu?" Dahi Javas berkerut. "Lu stereotip banget dah."

"Intinya, lu nggak bisa pake cara konvensional buat nangkep si Jenna. Kreatif dikit lah. Lagian dengan wajah cakep kayak lu, lu bisa pura-pura jadi suaminya yang ke enam."

Nyonya DurjanaWhere stories live. Discover now