Lie To Me

31 6 0
                                    

Insting perempuan selalu benar, kata orang. Begitu pun insting Jenna kali ini, saat suaminya, Nathan, tiba-tiba saja berpakaian rapi pukul delapan malam. Urusan pekerjaan katanya. Namun, Jenna tahu pasti itu hanya kedok semata. Memang para pimpinan biasa rapat hingga tengah malam, atau menemui investor dari luar negeri pada pukul satu dini hari. Hanya saja, apakah Nathan lupa bahwa istrinya adalah pemegang saham utama perusahaannya? Sehingga Jenna selalu dilapori apa-apa saja kegiatan penting yang menyangkut kepentingan perusahaan tersebut oleh tangan kanan kepercayaannya di sana? Jenna menarik napas panjang. Tangannya membelai liontin pemberian mertuanya, saat mereka menikah beberapa bulan lalu. Saat ini, benda itu terasa berat dan membebani lehernya. 

Aroma parfum samar milik Nathan mulai terhidu, menandakan lelaki itu siap berangkat. Jenna berjengit. Ia mengutip sebuah botol kecil dan mengoleskan isinya ke telunjuk, sebelum menghampiri suaminya.

"Mau kemana malam-malam begini, Sayang?" tanya Jenna lembut, sembari membelai leher lelaki itu, diam-diam menelusupkan telunjuknya ke bagian tubuh suaminya tanpa kentara. "I really miss you." Kepala perempuan itu rebah di dada Nathan, berlama-lama bermanja di sana.

"Babe, jangan kayak begini lah. Kamu tahu aku kerja, demi bisa menunjukkan kalau aku juga bisa mandiri. Nggak cuma ngandelin uang kamu." Tangan Nathan mengelus puncak kepala istrinya, lalu mendaratkan ciuman.

"Kata Arman, kamu kemarin barusan beli mobil lagi ya?" Perempuan itu melepaskan pelukannya dan melangkah ke tepi ranjang. "Kok aku nggak pernah diajak naik?"

Nathan tampak enggan menatap mata sang istri. "Iya, mungkin akhir pekan ini ya. Aku sendiri udah jarang ke sirkuit, Babe. Perusahaan ini, ternyata nggak gampang. Aku masih butuh banyak belajar." Lelaki itu kemudian meraih tas kerjanya dan melambai ke arah Jenna. "Sampai nanti ya, Babe."

Tak ada respons yang keluar dari mulut Jenna. Matanya kini menampilkan sorot tajam, sebelum mengutip gawainya di atas meja. Ibu jarinya cekatan menekan layar, sampai terpampang beberapa foto yang baru saja dikirim pada surelnya. Jenna menghela napas jengah. Dasar lelaki sialan.

***

Perempuan paruh baya itu masih tampak anggun, meskipun merah masih menghiasi kedua matanya. Gaun yang dipakainya pun masih memancarkan aura elegan khas sosialita, meskipun mimik wajahnya jelas menampilkan semburat duka. Di atas meja, tak jauh dari tempat perempuan itu duduk, tampak kotak perhiasan beledu berwarna biru. Tanpa membukanya pun, Jenna sudah tahu apa isinya.

"Mama minta maaf, Jenna." Suara Martha—ibunda Nathan—terdengar bergetar. Perempuan yang biasanya pongah di hadapan Jenna, kini menundukkan kepala, merasa malu setelah memberikan tuduhan yang menyakitkan kepada Jenna saat tubuh putranya ditemukan tidak bernyawa.

Jenna melengos, lebih suka menghindari pembicaraan yang bernuansa melankolis seperti ini. Namun, ia paksakan bibirnya berucap, "Bukan salah Mama. Jenna juga minta maaf."

"Kalung itu ... sudah menjadi milik kamu, saat Nathan ...." Perkataan Martha tersendat-sendat. "Ambillah."

"Itu warisan keluarga, Ma. Dan Jenna belum memberikan pewaris untuk keluarga Wijaya. Jadi sebaiknya, biarkan saja warisan itu kembali kepada pemiliknya."

Jenna memang mengirim kalung yang diberikan sang mertua ketika pemakaman Nathan usai. Bagi Jenna, tak usah memperpanjang hubungan yang memang tidak layak dipertahankan. Hati perempuan itu terlanjur sakit hati mengenang apa yang sudah dilakukan suaminya di belakangnya.

"Mama ... beneran nggak tahu kalau Nathan selingkuh di belakang kamu, Jenna." Air mata perempuan paruh baya itu menetes, diiringi dengan napasnya yang tersengal-sengal. "Nathan selalu bilang kalau dia mencintai kamu."

Wajah Jenna kembali datar. Ia tak mau menampilkan ekspresi apapun yang akan membuatnya menjadi bahan gunjingan mertuanya atau alasan lain untuk menyeretnya ke kantor polisi. Penyelidikan atas kematian Nathan masih berjalan. "Dia juga bilang sama Jenna begitu, Ma."

"Maafkan kelakuan Nathan, Jenna. Mama ...."

"Bukan salah Mama. Kalau Mama tidak ada lagi yang ingin dikatakan lagi, Jenna pamit, Ma. Kepala Jenna masih pusing karena jet lag." Jenna baru saja bertolak dari New York hari ini, tetapi karena permintaan mendesak dari Martha, membuatnya harus meninggalkan ranjangnya yang nyaman untuk beristirahat.

"Kamu ... benar-benar tidak membunuh Nathan kan?" Pertanyaan itu terlontar lagi. Namun, kali ini, nadanya lebih terdengar seperti permohonan.

Jenna menarik napas panjang. "Biarkan polisi yang menyelidikinya, Ma. Kita lihat saja siapa yang bersalah. Jenna tidak akan mau mengatakan apa-apa, karena orang lebih suka percaya apa yang mereka ingin percaya."

Jawaban Jenna lugas dan tegas, menjadikan sang ibu mertua seolah mati kutu. "Yah ... perjanjian yang kalian buat itu, benar-benar ...."

Kali ini Jenna mulai naik pitam, setelah beberapa saat yang lalu, ia sudah merendahkan diri untuk tidak berkata kasar. "Apa salah Jenna dengan meminta agar suami Jenna setia, Ma? Hanya satu syarat. Jenna tidak minta yang lain. Bahkan setelah menikah pun, anak kesayangan Mama itu hanya tahu menghabiskan harta Jenna. Tapi Jenna tidak peduli, Ma. Perusahaan yang dipegang Nathan pada akhirnya kolaps. Jenna mencintai Nathan, Ma. Namun apa balasan dari anak kesayangan Mama itu? Kalau Mama minta bukti pun, Jenna bisa berikan semuanya kepada Mama." Nyonya muda itu bersedekap, merasa murka dengan mertuanya yang ternyata masih meragukan dirinya.

Martha menelan ludah. Setelah dari pemakaman, ia sendiri menyewa detektif swasta untuk menyelidiki orang yang katanya adalah selingkuhan Nathan, dan ia sangat kecewa karena kebenaran fakta tersebut. Ia sudah lama menutup mata dengan perilaku Nathan yang memang teledor dan tidak becus dalam mengurus perusahaan, dan malah suka menghabiskan waktu di sirkuit balap. Juga di dalam mobil balapnya. "Setelah ini, aset-aset ...."

"Jenna tak tertarik sama harta Nathan, Ma. Silakan saja ambil semua aset yang mengatas namakan Nathan. Terutama ... mobil balapnya." Jenna menyebut barang terakhir itu dengan nada jijik. "Jenna tak sudi memilikinya."

Ingatan Jenna melayang saat ia memergoki sang suami, terengah-engah di kursi kemudi, sementara di pangkuannya seorang perempuan telanjang tanpa sehelai benang pun yang melekat pada tubuhnya tengah mengerang dan mendesah. Mereka bahkan tak menyadari kehadiran Jenna yang berdiri di sana, mengamati sampai Nathan menoleh dan wajah lelaki itu mendadak pias. Berbeda dengan Nathan, perempuan yang bersamanya tak menampakkan penyesalan sedikit pun. Sepertinya memang perempuan itu memang menantikan saat seperti ini. Ia hanya beringsut dan menutupi bagian atas tubuhnya, sembari meraih pakaiannya yang entah kemana. Nathan bergegas membuka pintu mobil tetapi karena panik, lelaki itu semakin tampak menyedihkan karena usahanya tidak berhasil.

Jenna bersedekap, berkata dengan nada dingin, "Aku baru tahu kenapa kamu nggak pernah ngajak aku naik mobil barumu, Sayang. Tenyata sudah ada penumpang yang lain. Lanjutin aja permainannya. Aku ingin tahu siapa pemenangnya kali ini."

*episode06*

Nah lho, ternyata Jenna emang pernah mergokin Nathan selingkuh! Tapi emang pasal perjanjiannya apa ya, sampai semua orang nuduh Jenna membunuh suaminya?

Nyonya DurjanaWhere stories live. Discover now