She's A Mess

53 11 11
                                    

"How do you know I'm a cop?" cecar Javas saat ia menemui Jenna di sebuah kelab malam. Lelaki itu masih penasaran dan semakin tertarik untuk mendekati nyonya muda sosialita itu. "Maksudku, kenapa kamu ngira aku polisi?"

Bibir Jenna yang terpulas lipstik merah merekah membentuk senyuman. "Kamu emang polisi. Dan aku kriminalnya, ya kan? Jadi setelah kamu bisa membebaskan diri dari borgolku, kamu udah nemu apa di rumah? Kuburan yang berisi tulang belulang mendiang suamiku, atau koleksi tengkorak yang berjejer rapi di gudang anggur?"

Lelaki di hadapan Jenna kini tersenyum kecut. "You're gonna ditch me in a day?"

"Says who?" Perempuan yang kini mengenakan gaun biru beledu selutut itu menyesap anggurnya. "Aku udah bilang sebelumnya kan. Our night was amazing. And I ...." Mata Jenna mengerling, kemudian menyapu seluruh tubuh Javas yang kali itu hanya mengenakan kaus berwarna hitam dan celana jins.

"You ....?"

Telunjuk Jenna menusuk dada lelaki itu saat ia berkata, "I like a cop ... in handcuff. On my bed." Setelah itu ia mengedipkan mata. Javas mengusap rambutnya dan mendesah. "You're gonna in trouble, now."

"We're gonna be in trouble, Jenna." Javas memesan minuman ke arah bartender, lalu bersandar di meja bar di sisi perempuan yang kini terkekeh-kekeh. Setelah minumannya dihidangkan, Javas menenggaknya habis tanpa sisa, yang langsung memberinya sensasi pusing di kepala.

"Kamu yang bakal kena masalah. Nggak ada sesuatu pun yang bisa memengaruhiku kan? Bahkan kematian para mendiang suamiku pun nggak. I'm still Jenna. Bisnisku masih jalan. Aku juga masih kaya. Kamulah yang kena imbasnya kalau bersamaku, Jav." Perempuan itu menoleh dan memandang Javas dengan getir. "Because I'm a troublemaker. I'm a mess, Jav. No one can save me."

"Apa setelah kamu tahu aku polisi, kamu akan memberiku pengakuan atau kesaksian yang sebenarnya?" Javas berucap, tampak keputusasaan menghiasi wajahnya.

Jenna mengelus pelipis lelaki itu, kemudian kembali memberikan senyuman yang menggoda. "Aku akan menjawab pertanyaanmu, tentu. Tapi kebenarannya, cuma kamu dan bosmu yang bisa menilai. Lagipula, tidak pernah ada orang yang mau mendengarkanku selama ini. Mereka lebih suka menudingku sebagai pembunuh."

***

"Kenapa lu curiga sama si Jenna ini? Semua alibinya cocok dan semua pelaku yang tertangkap pun memiliki motivasi yang kuat untuk menghabisi korban. Kecuali memang dua orang yang hilang." Javas menyulut rokoknya, setelah berjam-jam mempelajari seluruh kasus yang dibawa oleh Ganda.

"Emang lu nggak ngerasa aneh?" Ganda mengambil salah satu berkas dan menyerahkannya kepada kawan lamanya.

Tangan Javas meraih berkas tersebut dan membacanya dengan saksama. "Apaan ini?"

"Semua korban ini adalah pasangan Jenna."

"Suami? Dia nikah sampai 12 kali?" Tangan Javas menggebrak meja dengan keras. "Anjir, emang ada ya yang bisa nikah berkali-kali?"

Rokok di tangan Ganda pun hanya tersisa puntungnya saja saat ia melemparnya ke tempat sampah. "Cuma lima kali. Sisanya masih berstatus tunangan."

"Astoge." Javas menghela napas. Memang apa istimewanya perempuan itu sampai kedua belas orang ini bisa terpikat olehnya? Matanya kembali menatap foto Jenna yang ada di berkas milik sahabatnya. Paras perempuan itu memang cantik, tapi bukankah banyak wanita cantik di bumi Indonesia ini?

"Dan 12 orang itu menandatangani perjanjian komitmen. Itu yang bikin merinding." Mata lelaki bertubuh gempal itu kembali menelisik berkas yang tadi diberikan kepada Javas. "Bahkan pasal-pasalnya, nggak ada yang berubah. Dan yang ini ... yang bikin gue speechles, Jav."

Javas mendengkus keras. "Cuma satu pasal itu nggak bikin dia bisa dijerat pembunuhan, Bro."

"Justru karena pasal ini, semua orang curiga sama dia. Apalagi berulang terus sampai 12 kali."

"Baru sepuluh, Bro," ralat Javas. "Inget, dua orang masih berstatus orang ilang."

"Sama aja. Udah bertahun-tahun nggak ada kabar, gue anggep mereka udah mati. Dua belas orang, statusnya pasangan Jenna, dan mati nggak wajar. Dan lu tahu yang bikin semua orang yakin kalau Jenna pelakunya?"

Wajah Javas tampak datar saat menoleh ke arah kawan lamanya. "Karena pasal ini? Bukannya ini perjanjian biasa?"

Tangan Ganda mengusap-usap wajahnya yang tampak lelah, membuatnya jadi makin tua sepuluh tahun dari usia aslinya. "Ini antara kita aja nih. Apa kertas ini ada jampi-jampinya? Diasapi kemenyan sama dukun atau apa gitu?"

Tawa menggelegar segera membahana ke seluruh ruangan milik Ganda. "Lu gila, ya? Terus kalo tuh kertas sakti napa lu nggak kenapa-kenapa padahal lu simpen? Atau paling nggak kebakar gitu karena salah satu pihak yang terkait udah mati?"

"Sekarang apa lagi yang bisa membuktikan kematian sepuluh orang ini adalah ulah Jenna? Dia selalu ada di tempat lain saat kematian berlangsung. Bisa aja si Jenna itu pesugihan gitu, dan 12 orang ini emang dibunuh biar dia jadi makin kaya. Kita juga udah sering menjumpai kasus santet, kan? Dan pelakunya aja ngeri banget. Membunuh tanpa menyentuh. Hih."

"Ya bisa jadi dia bukan pembunuhnya, kan? Jangan terbawa perasaan pribadi dalam penyelidikan, Bro. Lu tahu kan aturan kita." Javas kembali mengisap rokok dan menjentikkan abu ke dalam asbak. "Lagian membunuh tanpa menyentuh bisa juga dengan menyewa pembunuh bayaran. Nah, apa pelaku-pelaku itu dibayar oleh Jenna?"

"Masalahnya, yang jadi pelaku itu kayak musuhnya Jenna. Mereka benci sama dia. Mereka percaya bahwa semua hakim dan jaksa yang bertugas menangani kasus ini, dibayar oleh Jenna untuk menjarain mereka."

Kali ini Javas terpekur. Ruangan Ganda sudah pekat oleh asap rokok dan semakin sesak dengan aroma kopi kental yang menjadi konsumsi mereka semalaman agar bisa terjaga saat mempelajari kasus yang cukup unik ini. Semuanya terasa rapi dan sistematis. Berbeda dengan kasus pembunuhan yang lain, di mana pelakunya selalu belum tertangkap, kasus yang berhubungan dengan Jenna ini sudah berakhir dengan adanya seseorang dengan motif yang kuat untuk membunuh korban.

"Mungkin aja emang faktanya kayak gitu. Lagian komandan udah bilang 11 kasus ini beres kan? Mereka juga banding dan kalah. Lu cuma butuh fokus sama kasus terbaru ini aja, Gan." Javas akhirnya berkata menjelang dini hari ketika semburat putih mulai muncul mewarnai langit yang hitam kelam.

"Dan gimana kalo kecurigaan gue ini beralasan?  She's a trouble maker, Jav. A fucking disaster."

Javas berdeham, tenggorokannya sudah terasa seret karena kopinya sudah tandas dari tadi. "Kedengarannya lu kayak punya dendam pribadi sama dia tahu, nggak? Kita buktiin dulu kalo emang Jenna yang membunuh Nathan. Setelah itu, kita bisa cari keterkaitan dengan kasus selanjutnya."

"Fine. Dan gue tantang lu, untuk bisa deketin dia. Cari apapun yang bisa memberatkan dia di pengadilan. Gue masih seratus persen yakin, dia yang membunuh para lelaki malang itu."

Mata Javas berkilat sekilas saat mendengar Ganda tampak berpihak pada korban. "Sayangnya, gue nggak setuju juga kalo para korban ini dibilang malang. Ngeliat berkas-berkas ini," ujar Javas sembari menunjuk tumpukan kertas berserakan di meja Ganda. "Mereka kayaknya juga bajingan."

*episode04*

Btw, ada yang tahu atau udah nemu kata kunci untuk part yang ini? 😉

Semua bab Nyonya Durjana emang aku tulis ulang dari awal ya, Keliners. Soalnya aku ngerasa makin ke sini, kok tone yang kuharapkan dalam cerita ini nggak sesuai sama tulisan yang ada. Sebab yang kemarin kayak aku kurang bisa menunjukkan sisi Jenna, cuma dari orang lain yang mengamati dia, makanya aku rombak ulang. Jadi ya, mohon maaf kalau kamu ngerasa kayaknya kemarin udah sampai part 6, kok sekarang balik lagi ke part 4.

Jadi, buat yang udah baca, boleh deh dibaca ulang dari awal. Entah aku bisa selesaikan cerita ini tepat waktu atau nggak. Cuma aku udah cukup suka sama tulisan yang terbaru ini. Semoga kalian pun begitu.

Nyonya DurjanaWhere stories live. Discover now