6

384 50 50
                                    

Saat itu, Callie baru saja datang. Gadis itu berjalan menuju bangkunya, dan ia melihat Amanda, teman sebangkunya yang sedang tertidur dengan kedua tangan yang dilipat di atas meja sebagai penyangga kepala. Entah jin apa yang membuat Callie ingin menjahili sahabatnya itu. Setelah ia menaruh tasnya di bawah meja, Callie membangunkan Amanda.

“WOI BANGUN-BANGUN!” jerit Callie yang membuat Amanda terbangun sempurna saat itu juga. Amanda membuka perlahan matanya, ia melirik jam tangan yang melekat di pergelangan tangan. Saat ini, hari masih menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit.

“Kenapa?” gerutu Amanda sambil mengucek matanya, menandakan ia masih merasa sayu.

“Yaelah, masih pagi tiduran. Pasti semalem lo begadang karena disuruh papa lo belajar, ya kan?” tanya Callie. “Gak,” jawab Amanda singkat dengan perasaan yang masih kesal akibat ia dibangunkan secara tiba-tiba oleh Callie.

“Terus, semalem lo ngapain? Tumben banget lo dateng pagi terus tiduran. Biasanya juga nyampe kelas pas lima menit sebelum bel masuk.”

“Biasa. Papa rapat,”

“Ohh, jadi semalem lo kurang tidur?” tanyanya lagi.

“Hmmm” Amanda hanya berdeham pelan. Sejak Amanda duduk di kelas dua SMA, hampir setiap minggu ia disuruh untuk menemani papanya rapat di kantor hingga larut malam. Bukan tanpa alasan, Reynard sengaja mengajak Amanda untuk menemani dirinya rapat, agar sang putri dapat belajar tentang dunia bisnis.

Namun, Amanda sangat tidak tertarik dengan dunia bisnis. Gadis itu menyukai hal yang berbau bela diri atau otomotif. Sejak kecil, Amanda ingin sekali menjadi atlet karate atau pembalap motor wanita saat dirinya besar nanti. Ia menyukai dunia balap motor sejak duduk di bangku kelas dua SD. Gadis itu menyukai pembalap motor yang telah menyabet gelar juara dunia sebanyak delapan kali, siapa lagi kalau bukan Marc Marquez.

Sayangnya, kedua orang tua Amanda tidak mengizinkannya untuk menjadi atlet karate atau pembalap motor. Wajar saja, pekerjaan yang Amanda inginkan merupakan pekerjaan yang sangat beresiko.

Sejak kecil, Amanda memang disuruh mamanya untuk mengikuti bela diri karate. Namun, bukan berarti sang mama akan menyuruh putrinya untuk menjadi atlet, melainkan agar Amanda dapat menjaga dirinya.

Begitu pula dengan Reynard, pria itu benar-benar tidak mengizinkan sang putri untuk menjadi pembalap motor. Pekerjaan yang Amanda inginkan itu sudah pasti sangat membahayakan nyawanya.

“Man, gue kasian sama lo,” ujar Callie sambil menatap serius wajah teman sebangkunya itu.

“Ngapain?” tanya Amanda dengan nada yang sedikit menekan.

Callie mendekatkan kursinya ke arah Amanda. “Gue tau gimana perasaan lo selama ini. Sejak kecil, lo disuruh ortu lo buat ikutin kemauan mereka. Gue paham itu rasanya gak enak banget. Tapi, jangan pernah berhenti untuk terus belajar, gue pengen liat lo sukses dengan cara lo sendiri. Lo bisa buktiin ke ortu lo, kalau lo bisa sukses tanpa harus mengikuti kemauan mereka.”

Amanda mengangguk pelan setelah mendengar nasihat dari sahabat kecilnya itu. “Makasih. Gue harus tunjukin.”

“Nah gitu dong! Ini baru sohib gue,” ucap Callie dengan seulas senyum yang merekah di bibirnya.



***



Saat jam istirahat, Amanda and the geng berkumpul di kantin. Lima gadis most wanted itu duduk di satu meja yang terletak di pojok kantin. Aran, sang asisten pribadi Amanda duduk setia di sampingnya.

“Man, makasih ya traktirannya. Enak banget nih baksonya!" seru Callie sambil mengunyah bakso.

“Iya lah. Semua jenis makanan kalau ditraktir sama temen, udah pasti rasa enaknya meningkat,” celetuk Lyn lalu gadis itu mengangkat mangkuk baksonya dan mengarahkan ke depan mulutnya sendiri. Ia menyeruput kuah bakso yang tersisa di dalam mangkuk dengan beberapa kali seruputan, dibantu oleh sendok yang mendorong kuah baksonya masuk ke dalam mulut.

AMANDA [ END ] Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin