8 || Tentang Ella

7 2 0
                                    

"Ella sahabat gue sejak pertama kali gue datang ke Linewill."

Pengakuan Rea yang begitu tiba-tiba membuat Stella terdiam, tak dapat berkata apa-apa. 

"Dia pernah cerita ke gue. Tentang lo. Adiknya. Sekaligus kembarannya."

Mendengar itu, Stella merasakan matanya memanas. Cepat-cepat dia menyeruput lemon tea nya agar Rea tak menyadari hal itu.

"Gue paham kenapa orang-orang nggak langsung nyadar kalau lo kembarannya. Kalian berbeda. Penampilan, sifat, dan gaya lo beda banget sama Ella. Tapi gue tau kalau lo adalah adik Ella, di detik pertama gue ngeliat foto lo di dokumen pribadi siswa. Dan kalaupun El Zura memang udah ngeliat dokumen pribadi lo, gue pikir sekarang dia punya kecurigaan tersendiri tentang lo."

Rea berhenti sejenak. Memorinya kembali pada beberapa tahun lalu. Saat dimana dia dan Ella masih mengenakan seragam SMP masing-masing, dan bertemu untuk pertama kalinya pada Seleksi Penerimaan Siswa Baru Linewill High School. Dua gadis polos, yang sama-sama tidak tahu dunia seperti apa yang akan dihadapi di masa putih abu-abu mereka.

"Ella anak baik. Dia ramah, nggak pelit ilmu, dan nggak ragu buat nolongin siapapun yang perlu bantuannya. Ella juga nggak cuman sekedar pintar, dia genius. Sebelum kepergiannya, Ella adalah pemegang peringkat umum pertama berturut-turut di angkatan kita," ungkap Rea.

"Cuman Ella yang bisa bertahan di peringkat pertama tanpa harus belajar mati-matian kayak yang lain. Cuman Ella yang mau ngasih kesempatan anak-anak di kelas buat ngambil poin tambahan di setiap pertanyaan guru, padahal dia sendiri tahu pasti jawabannya. Cuman Ella yang mau luangin waktunya buat nolongin anak-anak yang ditindas di sekolah. Dia punya kekuatan, yang orang lain nggak punya. Dan itu sebabnya, banyak yang ngerasa kehilangan saat dia pergi."

Rea menarik napas panjang. Sesaat, dia terdiam, membiarkan Stella meresapi apa yang diucapkannya. Stella tiba-tiba saja teringat dengan hasil pencariannya tentang El Zura tempo hari.

"Wait, si El Zura itu ... udah berapa kali dia megang peringkat umum pertama di angkatan kalian?"

"Hanya setelah Ella nggak ada," jawab Rea.  "Semester lalu. Tahun terakhir kelas 11."

Stella tersentak. "Menurut lo, ini ada hubungannya dengan kematian Ella?"

Hening.

Rea memilih untuk memfokuskan diri pada sandwich nya yang tinggal setengah. Membiarkan Stella menatapnya dengan penuh harap selama beberapa saat.

"Oh, come on, Rea. Lo sahabat Ella. Dia pasti cerita tentang ini ke lo." Stella mendesak.

"Tapi alasan Ella bunuh diri bukan semata-mata karena dia nggak berhasil dapetin posisi peringkat pertama, Stell. Ada alasan di balik itu."

Stella semakin bingung. "Dan alasannya?"

"Gue nggak sanggup untuk sekedar ngingat cerita itu. Ella kacau. Dan saat itu, gue nggak bisa apa-apa selain duduk diem dengerin semua kisahnya. Gue terlalu pengecut untuk ngasih Ella perlindungan yang layak dia dapatkan."

Stella menyerngit bingung. "Maksud lo? Kakak gue kenapa? Please, Rea, gue perlu tau semuanya. Atau kepindahan gue ke Jakarta bakalan sia-sia."

Gadis yang duduk di hadapannya terlihat bimbang. "Ella emang genius, tapi bukan dia yang berambisi mendapatkan peringkat pertama, Stell. Orangtuanya yang selalu nuntut dia untuk jadi juara."

"P-Papa?"

"Sejak Ella masuk SMA, bokap kalian nikah lagi dan istri barunya adalah wanita penuh ambisius yang nggak punya hati. Ella selalu diminta untuk belajar dan belajar. Kalau gagal, dia disiksa, dan dia selalu cerita ke gue."

Suara gadis itu sedikit bergetar. Rea berusaha mengendalikan diri. Stella dapat melihat bola mata gadis itu berkaca-kaca.

"Ella pernah dilemparin vas bunga, dibenturin ke tembok, dikurung di kamarnya tanpa dikasih makan. Dan bokap lo, dia nggak ngelakuin apa-apa buat nyelamatin Ella dari itu."

"What?!" Stella merasa dadanya sesak mendengar apa yang baru saja dikatakan Rea. Hatinya begitu marah, pada Papa, juga wanita asing yang dengan berani menyakiti kakaknya.

Rea melanjutkan.

"Puncaknya adalah saat malam pengumuman peringkat waktu kelas 11 semester genap. Tepatnya, 3 hari sebelum gue denger kabar Ella bunuh diri. Waktu itu, peringkat Ella merosot jauh. Dan nilainya nyaris menyentuh nilai standar ketentuan sekolah. Ini, adalah satu-satunya hal yang masih jadi misteri bagi gue. Tentang kenapa Ella bisa se down itu, padahal sebelumnya dia masih bisa mempertahankan peringkat umumnya di tengah-tengah tekanan yang dia terima di rumah."

"Malam itu, dengan kening yang berdarah, punggung yang lebam, baju setengah terbuka, dan mata yang sembap, Ella datang ke rumah gue. Dia nggak nangis. Nggak ngomong apa-apa. Malahan gue yang susah payah nahan histeris ngeliat kondisinya yang sekacau itu. Setelah gue bersihin lukanya, gue suruh ganti baju, gue bikinin air hangat, gue suruh makan, barulah gue nanya apa yang terjadi. Dan jawabannya, bener-bener bikin gue naik darah."

Sekilas, Stella melihat kilatan marah pada mata gadis dihadapannya.

"Malam itu, bokap-nyokapnya marah besar gara-gara peringkat Ella yang anjlok. Dia disiksa dan dibentak habis-habisan. Parahnya lagi, dia diancam bakal diusir dari rumah karena dianggap ngerusak nama baik keluarga mereka. Dia bahkan bilang kalau dia udah nggak sanggup lagi ngehadapin s-semuanya."

Rea menyerah dengan air matanya. Gadis itu menangkupkan kedua tangannya ke wajah. Sementara Stella merasakan amarah dalam dirinya memuncak. Orangtua macam apa yang menyiksa anaknya demi peringkat!?

Stella menyodorkan selembar tisu kepada Rea.

"Maafin gue, Stell. Gue gagal jadi temen buat Ella. Gue—"

"No!" potong Stella cepat. "Lo nggak gagal, Rea. Dan gue sama sekali nggak nyalahin lo atas kematian kakak gue. Justru gue pengen bilang makasih. Makasih udah nemenin kakak gue di masa-masa terpuruknya dia, di saat gue sendiri nggak sanggup ngelakuin itu."

Rea turut menyunggingkan bibirnya.

"Lo tau, ada 2 hal yang kemudian gue sadari setelah Ella pergi. Rasa bersalah dan penyesalan. Keduanya sama-sama datang di akhir. Manusia nggak akan bisa menerka kehadirannya. Dan ketika 2 hal itu datang, only a small chance kita bisa memperbaiki keadaan. Atau buruknya, nggak sama sekali."

Percakapan panjang antara dua gadis itu berakhir dengan menimbulkan pemahaman baru bagi keduanya. Rea dan kenangannya bersama Ella, juga Stella dan kerinduannya kepada Ella, adalah rasa bersalah terberat yang harus mereka lewati sebagai bagian dari kehilangan.  

•••
Thankyou for your
VOTE, COMMENT & SHARE 🖤

EliminationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang