9 || Keanehan

4 2 0
                                    

Berendam di bathtub berisi air hangat adalah pilihan yang tepat bagi Stella untuk merilekskan tubuh dan pikirannya. Banyak hal yang telah ia lalui hari ini, namun tak sedetik pun pikirannya beralih dari Ella. Atau lebih tepatnya, mendiang Ella.

"Kenapa lo nyerah sih, El? Kalau lo mau nunggu sebentaaaaar lagi aja, lo bisa hidup bahagia bareng gue dan Mama. Lo nggak kangen sama gue ya, El? Makanya lo mutusin buat pergi gitu aja? Hadehh, padahal gue pengen banget ketemu lo."

Gadis berambut sebahu itu bermonolog sembari memejamkan matanya. Seolah-seolah Ella ada di sana. Seolah-olah kematian belum menarik Ella dari dunia yang membuatnya tersiksa. Sejenak dia menyingkirkan fakta, bahwa kembarannya telah meninggalkan dunia. Hanya itu yang dapat Stella lakukan, di tengah kerinduannya yang tak tersampaikan pada sosok Ella.

Setelah kegiatan berendamnya selesai, Stella beranjak menuju dapur. Tante Jihan, adik dari ibunya yang tinggal bersamanya di apartemen, mengabari akan pulang telat hari ini. Jadi gadis itu memutuskan untuk memasak makan malam. Gadis berambut sebahu itu sibuk memotong-motong kornet, merebus mie, menghirup udara hangat yang keluar dari microwave, sampai kemudian terdengar bunyi pintu apartemen yang dibuka dengan keras.

Stella terperanjat kaget. Maling?

Sepersekian detik kemudian, gadis itu segera menghilangkan pikiran bodohnya. Jangan ngaco, Stella! 

Setengah berlari, gadis itu menuju ke ruang depan. Ia mendapati seorang wanita berjas putih yang tengah membuka-buka laci besar di dekat sofa.

"Buset dah, Tante?!"

Mengabaikan keterkejutan Stella, Jihan menatap keponakannya dengan wajah panik. "Ada tabrak lari di depan apartemen. Kamu liat tas P3K Tante?"

Berusaha untuk tidak ikutan panik, Stella mencoba mengingat-ingat. "Oh! Biar Stella ambilin!" Sekejap kemudian, gadis itu datang menenteng sebuah tas dengan lambang + besar di depannya.

"Thanks, sayang."

Segera setelah Jihan berlari keluar apartemen, Stella terdiam sejenak. Sebelum kemudian ia berlari menuju dapur, mematikan kompor, memastikan tak ada alat elektronik yang menyala, lalu kembali ke ruang depan dan menyambar jaketnya yang tergantung di sandaran sofa.

Begitu Stella keluar dari bangunan apartemen, lampu biru-merah kepolisian memenuhi indra penglihatannya. Tak ada tanda-tanda ambulance di sana. Mungkin masih di perjalanan. Stella dapat melihat 3 buah mobil yang bertubrukan di sisi kanan jalan raya, sementara sebuah sepeda motor yang hancur tengah diamankan pihak kepolisian.

Lalu lintas menjadi macet. Stella dapat melihat Tante Jihan yang tengah melakukan pemeriksaan pada beberapa korban. Namun, netranya kemudian menangkap sesuatu yang tidak beres.

Sebuah mobil hitam terlihat baru saja memasuki di TKP. Dua orang berpakaian serba hitam keluar dari sana dan mengangkut seorang korban laki-laki yang berlumuran darah. Salah seorang dari mereka berbicara dengan polisi, seperti menjelaskan sesuatu.

Tapi, bukan itu yang menarik perhatian Stella. Meski sedikit tak percaya, gadis itu menyipitkan matanya, takut salah lihat. Tapi, tidak. Penglihatannya tidak salah.

Seragam yang dikenakan oleh sosok laki-laki yang berlumuran darah itu, adalah seragam kebanggaan Linewill High School. Pertanyaannya, kenapa mobil hitam itu mengangkutnya pergi?

•••

Malam berganti pagi. Linewill High School—seperti biasa—terlihat tenang dan damai. Tapi bagi Stella, ini terlalu tenang.

Dia melewati hari ini dengan duduk di kelas seperti biasa. Menghabiskan waktu istirahat di café sekolah bersama Nara dan Acha. Menerima point plus dari guru Biologi atas argumennya yang dianggap luar biasa. Mendengarkan ocehan guru PKN nya tentang demokrasi Pancasila. Lalu pulang ke apartemen, tanpa mendengar kabar apapun tentang apa yang ia harapkan akan didengarnya.

Seorang siswa dari sekolah Internasional terbaik di Indonesia, teridentifikasi sebagai korban tabrak lari di depan apartemen 20 lantai di pusat kota Jakarta.

Seharusnya hal itu cukup menggemparkan 200 lebih penghuni Linewill High School dan menjadikan berita itu sebagai topik utama di media massa.

Tapi nyatanya, tidak. Stella bahkan telah mengecek grup chat angkatan beberapa kali. Tapi isinya hanyalah obrolan biasa yang tidak penting. Tidak ada seorang pun yang menyinggung tentang kecelakaan siswa manapun.

Aneh.

Haruskah dia mencari tahu?

Setelah berpikir panjang, Stella akhirnya meraih ponselnya, membuka grup chat angkatan, dan mengetikkan sesuatu di sana.

•••

Sementara tak jauh dari apartemen 20 lantai itu, Kanara Antonio menatap layar handphone nya dengan mata membulat sempurna.

Eh, guys, kalian g ada dngr kabar tntng kecelakaan semalam?

Gue cuman mau mastiin, ap bnr anak skolah kita jadi korban?

Deretan kalimat tanya tanpa dosa itu, sontak membuat Nara tak sengaja menekan kuat kapas alkohol di tangannya, pada luka seorang laki-laki yang meringis kesakitan.

"Ehh—sorry­, Al. Nggak sengaja."

"Dah kebal gue, Ra. Lanjutin aja. Lagian, nggak bisa apa tuh hape ditaro dulu? Luka gue—"

"Bacot, lo."

Nara melempar asal kapas alkohol yang dipegangnya, lalu menyambar kunci motor dan berjalan menuju pintu keluar basemen kecil itu.

"EH, RA, KOK NGAMBEK? WOI, KANARA! INI LUKA GUE BERESIN DULU!"

Seolah tuli, Nara sama sekali tak menghiraukan teriakan Alan.

Gadis berjaket jeans itu menaiki motor koplengnya dan tanpa basa-basi, langsung menancap gas meninggalkan basemen besar yang ia sebut sebagai markas itu.

Sementara itu, di rumahnya, Acha memijat pelipisnya dengan kasar. Jari-jemarinya kemudian mengetik cepat di atas keyboard.

Nyari mati lo? Hapus pesannya sekarang!

[Send to Stella]

•••

Thankyou for your
VOTE, COMMENT & SHARE 🖤

EliminationWhere stories live. Discover now