Fifth

887 63 1
                                    

Keenan termenung sendirian di balkon kamarnya. Cowok itu mengepalkan tangannya erat saat memori-memori itu datang.

Namun sesaat ia kembali menghela napas lelah. Padahal kejadian itu sudah terjadi beberapa hari yang lalu, namun efeknya masih sangat terasa hingga saat ini.

Lo siapa hah berani nampar gue?!Bahkan abang gue aja gak berani main tangan sama adeknya. Sedangkan lo, lo bukan siapa-siapa bagi gue dan dengan seenaknya tangan kotor lo itu nyentuh pipi gue

Keenan memukul pagar pembatas balkon keras saat kalimat Ruby tempo hari terngiang kembali di kepalanya. Cowok itu tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Ruby. Bukannya ‘abang’ nya Ruby hanya dirinya dan Daniel? Lalu siapa yang dimaksud Ruby dengan sebutan ‘abang’ itu?

“Kak!”

Keenan menoleh saat seseorang memanggilnya. Disana tampak Daniel yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.

“Kenapa?” tanya Keenan.

“Lo lagi mikirin apa?” bukannya menjawab Daniel malah balik bertanya.

Lagi dan lagi Keenan menghela napas lelah. “Lo ada ngerasa beda gak sama
Ruby yang sekarang?”

Daniel mengerutkan alis bingung. Namun sesaat cowok itu mengangguk.

“Sejak gue nampar dia di taman, anak itu jadi selalu menghindar. Bahkan gue selalu merhatiin dia selalu ngelirik kita sinis” ucap Daniel.

“Bukannya sekarang udah genap seminggu ya mereka pergi dari rumah?” lanjut Daniel.

Keenan terdiam. Ia sampai melupakan fakta satu itu. Sepertinya Ruby memang benar-benar tak ingin kembali ke rumah. Ini sudah genap satu minggu mereka meninggalkan kediaman keluarga Eric.

Entah dimana kedua orang itu hingga sampai saat ini pun para anak buah Eric tak bisa menemukan keberadaan mereka.

“Gue kepikiran omongan anak itu pas lo abis nampar pipinya” ucap Keenan.

“Yang dia bilang…” Daniel menjeda sejenak kalimatnya. Entah mengapa tenggorokannya menjadi terasa kering saat mengingat ucapan Ruby kala itu. Ada goresan tak kasat mata yang terasa perih. “Dia bilang abangnya aja gak berani nampar dia. Itu?” tanya Daniel.

Keenan mengangguk pelan. “Abang yang dia maksud siapa? Bukannya dia cuma punya kita sebagai abangnya? Atau mungkin sekarang dia udah gak ngakuin kita” ucap Keenan dengan memelankan beberapa kata terakhir.

Kini giliran Daniel yang mengangguk. “Dulu gue juga selalu main tangan sama
anak itu, tapi dia gak pernah sekali pun ngomong kaya gitu. Tapi kemarin, rasanya dia bukan Ruby…” ucap Daniel.

“Gue gak tau ini perasaan apa, yang jelas gue ngerasa sedikit iba sama anak itu” ucap Keenan yang membuat Daniel mengalihkan tatapannya ke arah Keenan.

“Maksud lo apa?”

“Dia bener, waktu mama gak ada dia bahkan belum lahir. Dia mungkin juga gak pengen ada di posisi ini”

Daniel terkekeh sinis. “Jadi cuma sebaris kalimat bisa bikin lo berubah kaya gini? Gila, cewek itu bener-bener gila!”

“Lo coba pikir Daniel, mama waktu itu meninggal emang karena sakit. Tante Danella juga gak ngapa-ngapain mama kan?"

“Sekarang coba lo yang mikir kak, ada gak perempuan yang rela nikahin sahabatnya sama suaminya sendiri? Gak akan ada kak, mama lakuin itu pasti karena udah dipengaruhin sama wanita itu”

Keenan terdiam.

“Udah lah, jangan percaya sama omongan anak itu. Ini cuma drama” ucap Daniel yang semakin membuat Keenan terdiam.

INEFFABLEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora