Prolog

15.8K 592 3
                                    

"Bahan ini nggak boleh masuk ke ingredient serum kita yang baru. Siapa sih yang rekomendasiin? Ini dampak buruk pemakaian jangka panjangnya besar banget. Blacklist!"

Tidak salah Marsha Lenathea Maheswara atau yang kerap dipanggil Marsha itu terlihat garang di kursi kebesarannya sambil membolak-balikkan file yang baru saja diantarkan oleh salah satu pekerjanya.

Bekerja di bidang kosmetik dan kecantikan semenjak lulus kuliah 6 tahun lalu membuat ia harus selalu memperhatikan segala detail mengenai seluruh komposisi serta dampak yang akan didapatkan oleh para konsumen jika menggunakan produknya. Marsha memijat pelipisnya, pusing melihat kekacauan yang terjadi karena salah satu anggota dari tim terbaiknya baru saja mengundurkan diri sebelum produk garapan mereka keluar.

"Permisi, bu." Ketukan di pintu mengalihkan atensi Marsha. Di balik pintu yang baru terbuka sedikit di sana, ada Callie, sekretarisnya yang masuk ke dalam ruangan membawakan teh dan cemilan di tangan.

"Kalian boleh keluar. Kita lanjut besok lagi. Terima kasih buat hari ini." titah Marsha kepada dua karyawan yang tadi ia ajak untuk berdiskusi bersama.

"Ibu seharian belum ada makan loh. Ini ada kue, diabisin ya bu."

Marsha menjatuhkan bahunya, terlihat tidak semangat sembari menerima teh hangat dari Sang sekretaris.

"Kamu kan tau saya lagi diet," ucap Marsha namun tak ayal tetap menyuapkan sesendok kue buah yang dibawakan Callie.

"Ibu tuh cantik banget! Badan udah oke juga. Jangan diet-diet lah bu. Saya beliin nasi padang di seberang mau nggak? Masih buka nih bu jam segini."

Marsha langsung melirik arloji di tangan kirinya. Sudah pukul empat lewat. Nasi padang dengan lauk rendang sepertinya enak juga. "Boleh deh. Nasi kayak biasa ya."

"Nah gitu donggg! 10 menit lagi saya balik."

Marsha terkekeh geli sambil menggelengkan kepala melihat Callie yang langsung berjalan cepat keluar ruangannya untuk pergi membelikan ia makanan. Wanita berumur 28 tahun itu baru saja hendak mengecek map lainnya yang harus ia periksa saat Callie kembali menimbulkan kepalanya dari balik pintu.

"Bu, ada telepon dari Nyonya."

Alis Marsha terangkat heran. Ia meraih ponselnya yang senantiasa mati tanpa masuk satu notifikasi pun dari pagi.

Baterainya habis total ternyata. Pantas saja.

"Saya lanjutin telponnya ke Ibu, ya?"

Suara Mama tercinta yang mengomel di seberang sana langsung terdengar sesaat setelah Marsha mengangkat telepon kantornya.

"Kamu nih yaaa, susah banget dihubungin. Untuk apa beli handphone mahal-mahal kalau nggak bisa ditelpon."

"Hehehe, sorry mamaa. Handphone aku tadi habis batre. Lupa ngecas."

"Kebiasaan kamu tuh."

"Iyaaa lain kali diusahain nggak gitu lagi. Mama ada apa nelpon?"

"Emang nggak bisa ya mama basa-basi sama kamu."

Tawa lepas Marsha berikan sebagai respon dari ucapan sang Mama.

"Kamu nanti pulang ke rumah ya. Nginep di sini."

"Tumben minta segala nginep. Ada acara apa besok?"

"Udahh, kamu dateng aja ke rumah. Papa kamu tuh kangen berat sama anak cewek satu-satunya ini."

"Oke oke, nanti malem aku pulang."

Telpon terputus setelah Marsha berikan kabar bahwa ia bersedia pulang ke rumah. Sudah lama juga ia tidak bertandang ke rumah tempat ia tumbuh besar.

Semenjak tinggal sendiri di apartemen yang berada tepat di samping kantor, Marsha jadi jarang pulang ke rumah. Ia memilih menghabiskan waktu seharian untuk bekerja lalu pulang larut malam dan langsung tidur. Sampai-sampai, kedua orangtuanya yang harus menelpon meminta anaknya untuk pulang. Persis seperti telpon mama barusan.

***

Lompat ke kasur empuk yang lama tidak berpenghuni membuat Marsha merasakan kantuk yang luar biasa. Wangi kamarnya masih sama seperti dulu. Aroma berries khas dari pengharum ruangan yang secara berkala ia ganti setiap kali berkunjung.

Marsha meringkuk di atas tempat tidur sembari scrolling sosial media. Tujuannya satu, mencari hal yang sedang ramai belakang ini untuk kepentingan pekerjaan. Memang Marsha tidak akan pernah mau melepas kata kerja dari hidupnya.

" Sha, mama boleh masuk nggak?" Suara dari balik pintu terdengar.

"Masuk aja, Maa."

Mama tampilkan raut wajah tidak habis pikir melihat anak paling cantiknya tidur di atas kasur tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Langsung saja, mama jadi cerewet minta Marsha untuk mandi.

Marsha ogah-ogahan buat bangkit dan pergi ke kamar mandi. Padahal tadi ia sudah di posisi paling nyaman.

Tidak perlu waktu lama bagi Marsha untuk bebersih. Ia keluar dalam balutan piyama hitam satin dan sheet mask di wajah.

"Punya siapa tuh ma?" tanya Marsha melihat kebaya yang tiba-tiba sudah tergantung manis di belakang pintu kamar.

"Punya kamu."

"Aku nggak pernah beli deh."

"Dikasih papa. Sini mama sisirin."

Marsha mengambil sisir di meja riasnya lalu ia sodorkan pada Mama. Marsha duduk di atas kasur, membelakangi Mama dan menghadap ke arah lemari bajunya yang menjulang tinggi. Sesekali Marsha mencuri pandang kepada kebaya putih tulang di pintu.

Ada angin apa sampai Papa yang bahkan tidak ingat kapan Marsha ulang tahun membelikan kebaya secantik itu?

"Anak mama udah gede..." ucap Mama tiba-tiba saat masih menyisir rambut panjang Marsha.

"Kan nggak lucu kalau anak mama kecil terus." balas Marsha.

"Nanti kalau kamu udah punya anak baru deh paham gimana perasaan mama."

Marsha menggigit pipi bagian dalamnya. Jika sudah begini, maka ia tidak bisa bicara lagi kalau tidak mau Mama membahas tentang pernikahan, anak, dan keluarga.

"Besok bangun pagi. Kamarnya jangan dikunci biar enak bangunin kamu."

Mama letakkan sisir di atas nakas lalu berdiri dan tinggalkan kasur dan Marsha yang menatap heran.

"Mau ada acara apa sih besok?"

"Lihat aja nanti." Mama berikan senyum dan kedipan sebelah mata ke Marsha dan pergi keluar kamar.

Marsha horor sendiri melihatnya.

Dalam benak sekarang, ada banyak spekulasi yang muncul. Namun Marsha memilih untuk membuangnya jauh-jauh. Mungkin besok ada tamu penting Papanya yang akan datang hingga ia harus memakai kebaya segala. Bukan yang lain.

Iya, semoga saja.

NIKAH PAKSA [ZEESHA] END ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang