15. Mimpi atau Kenyataan?

6.9K 532 20
                                    

"Pak Azizi, bangun."

Azizi mengerjapkan matanya berulang kali untuk menyadari dimana ia berada sekarang. Tengkuknya terasa kaku dan sakit, mungkin karena ia tidak sengaja tertidur di kursi teras depan rumahnya.

"Ada apa ini rame-rame, Git?"

Ada raut wajah bingung bercampur sedih yang kini tergambar jelas pada Gito. Azizi mengernyitkan keningnya, ia melihat sekeliling untuk mendapati orang-orang yang menggunakan baju serba hitam dengan wajah sendu bahkan tak sedikit yang menangis.

Jantung Azizi rasanya merosot dari tempatnya saat seorang ibu-ibu yang ia kenali sebagai mertuanya menangis–lebih tepat disebut meraung dalam pelukan suaminya. Mertuanya terus bergumam kalimat yang Azizi tidak bisa dengar jelas kata-katanya. Masih dengan rasa bingung yang menggantungi pikiran, Azizi bangkit dan jalan ke arah kedua mertuanya. Baru saja ia sampai di dekat Ibu mertuanya, wanita paruh baya itu langsung melepas pelukannya, mendatangi Azizi dan memukul dada Azizi berulang kali masih dengan raungan tangis yang membuat orang sekitar memandangi mereka.

"Kembaliin anak saya... Saya cuma punya Marsha di dunia ini...."

Azizi masih coba mencerna semuanya. Ia menatap wajah ayah mertuanya yang terlihat sedih dan sarat akan kecewa.

Hanya butuh beberapa detik untuk Azizi kini sepenuhnya sadar apa yang telah terjadi. Ia menahan kedua tangan ibu mertuanya dan tergopoh lari masuk ke dalam rumah tempat lebih banyak orang berkumpul.

Jantung Azizi berdetak sangat kencang. Di antara tangis yang pecah di sekelilingnya, ia masih bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Rasanya seakan ia telah lari marathon beratus kilometer jauhnya, telinganya pengang dan kepalanya memberat.

"Nggak mungkin." Azizi tidak hentinya meracau ucapkan kata tidak saat ia sampai di ruang tengah yang kini terbebas oleh perabotan rumah lainnya. Tempatnya lapang dan dilapisi oleh karpet dari ujung ke ujungnya. Hanya ada kasur di tengahnya dengan orang-orang yang mengelilingi kasur tersebut.

Dengkul Azizi melemas, langkahnya terasa sangat berat untuk mendekat. Ia mulai lupa caranya bernapas. Oksigen seakan terenggut dari paru-parunya hingga dadanya sesak dan menyeri dengan hebat.

Orang-orang memberikan akses untuk Azizi mendekat, mereka menjauh setelah mengucapkan kata bela sungkawa yang Azizi tidak harapkan sama sekali.

Karena ini semua tidak nyata. Ini tidak mungkin.

Pertahanan Azizi runtuh saat kedua lututnya seakan tertarik menyentuh karpet dan dengan kedua tangannya yang gemetar hebat menyingkap kain tipis yang menutupi benda di atas kasur tersebut.

"Nggak ini nggak mungkin. Lo bukan Marsha gue."

Tangan Azizi tanpa sadar meremat kuat kain tipis itu, ia tidak terima dengan apa yang kini berada di hadapannya. Tubuh kaku nan dingin di hadapannya bukan Marsha. Marsha istrinya baru saja sembuh setelah dirawat di rumah sakit berminggu-minggu akibat kecelakaan yang menimpa. Marshanya sehat dan bisa bernapas dengan baik.

"Marsha." Azizi mengguncang kedua bahu Marsha yang sudah dingin. "Sha, nggak lucu. Bercanda lo nggak gini."

"MARSHA!"

Teriakan Azizi terdengar ke sepenjuru ruangan. Tapi Marsha tidak juga bangun. "Lo benci waktu gue bentak 'kan? Ayo bangun, marahin gue karena udah ngebentak lo."

"Pak." Gito datang memegangi pundak Azizi.

"Git, suruh Marsha bangun."

"Jangan buat Bu Marsha makin sedih, Pak."

Azizi tidak bisa menahan dirinya untuk menangis. Hari itu, Azizi lagi-lagi dibuat harus kehilangan orang ia sayangi. Lagi-lagi ia harus merasakan bagaimana rasanya langit runtuh tak bersisa untuknya.

NIKAH PAKSA [ZEESHA] END ✅Donde viven las historias. Descúbrelo ahora