Part 2

3K 271 2
                                    

"Jadi totalnya 400 koin perak." pedagang itu menyerahkan sekantung koin pada gadis muda itu. Clarencia dengan senang hati menerimanya. Di sebelahnya ada Ian yang menunggu sambil memegang tali kendali Nathan.

"Kamu yakin jumlahnya demikian?" Clarencia dengan perhitungan membuka kantung koin itu dan melihat-lihat di dalamnya. Pedagang itu menghela napas mendengar nada keraguan itu.

"Nona manis, aku mengenal Ibumu, beliau sering menjual telur bebek padaku. Aku adalah pedagang yang jujur. Kalau tidak percaya, kamu bisa menghitungnya di sini." ujar pria itu setengah kesal. Pasalnya ia diragukan oleh seorang yang masih berusia 18 tahun. Sedangkan ia sudah lebih dari setengah abad dan telah menjadi pedagang senior.

Ian segera menarik tangan temannya pergi dari kedai pria itu. Jika dibiarkan, Clarencia akan menghitungnya dengan senang hati. Ia tidak suka menunggu.

"Hei, aku ingin menghitungnya." protes gadis itu tak terima saat ia ditarik dari sana.

"Cepatlah Nona Uang, tepati kata-katamu. Traktir aku roti selai kacang." Ian berkata dengan malas. Akhirnya Clarencia tidak mendebat lagi. Gadis itu akhirnya berjalan bersisihan dengan Nathan dan Ian.

"Baiklah, ayo ke kedai Paman Blue."

Keduanya bergerak di keramaian pasar menuju kedai langganan mereka sejak dulu. Saat mereka mendorong pintu, lonceng di atas pintu ikut berbunyi. Ian dan Clarencia langsung disambut dengan aroma kacang-kacangan yang telah menjadi favorit keduanya.

"Halo Paman." Clarencia menyapa pria tua yang sedang mengelap meja, yang tak jauh dari tempat mereka duduk.

"Seperti biasa, memesan roti selai kacang. Benar?" Paman Blue berseru dengan lancar. Ia sudah hafal dengan kebiasaan muda-mudi itu. Dari sekian banyaknya makanan dari olahan kacang, roti selai kacang adalah pilihan mereka.

Mendengar itu, Ian langsung mengancungkan jempol dan Clarencia bertepuk tangan mengapresiasi pria tua itu.
"Jangan lupa bonusnya, Paman!" pinta gadis itu.

Paman Blue menghela napas dan mengangguk saja.
"Kalian tunggu sebentar, Yohanna akan mengantarkannya untuk kalian." Paman Blue bergegas ke dapur meninggalkan keduanya.

Sambil menunggu, Ian dan Clarencia membahas hal-hal tidak berguna mulai dari menebak-nebak jenis kelamin semut yang kebetulan lewat di atas meja mereka, hingga membahas berapa uban yang berada di kepala Paman Blue.

"Clarencia, itu Agatha." Ian menunjuk sosok yang bersinar diantara teman-temannya. Clarencia ikut menoleh ke luar pembatas kaca. Agatha dan teman-temannya memasuki restoran bangsawan yang ada di seberang jalan. Tangan mereka masing-masing menenteng barang belanjaan.

"Si sialan itu. Aku harus mematahkan tangannya." Clarencia menggeram. Ian buru-buru menepuk-nepuk bahu temannya.

"Hei, jangan membuat keributan di sini. Patahkan saja tanganya sesampai di rumah." Ian memberi saran sesatnya kepada gadis itu. Temannya adalah sosok yang nekad, ia sudah pernah memukul Agatha di depan umum. Agatha telah membagikan tangkai bunga mawar yang ia rawat di depan rumah, pada pejalan kaki secara cuma-cuma di hari kasih sayang. Jadi jangan sampai kejadian itu terjadi lagi.

"Kenapa lagi? Dia mengambil uangmu?" Ian menebak-nebak.

"Ya!" Clarencia menjawab dengan kesal.

"Gadis sialan itu bahkan bersenang-senang dengan uangku. Betapa sialannya." geramnya kemudian.

"Citranya terlalu cantik, teman. Jadi jika kau memukulnya sekarang, mereka tidak akan percaya jika dia telah mengambil uangmu." Ian menasehati.

"Tapi beritahu aku jika jadi memukulnya di rumah. Setidaknya aku akan membawamu lari menggunakan Nathan, ketika Bibi Shiren mengamuk." Ian melanjutkan.

Hai, Duke! Kde žijí příběhy. Začni objevovat