Chapter 1

776 131 5
                                    

[Akses baca lebih cepat bisa kalian temukan di Karyakarsa 'kataromchick'. Terima kasih.]

Edna menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Dia begitu menyedihkan dengan kondisinya yang tengah berbadan dua. Perutnya menunjukkan sebuah ironi. Satu sisi dia bahagia dengan keberadaan bayi di kandungannya. Namun, di sisi yang lain dia ingin menangis meronta sebuah keadilan. Seorang putri tertua dari keluarga hamil dan membuat banyak perdebatan karena situasi yang mendesaknya untuk tetap diam. 

"Mbak Edna, ada tamu."

Rumah yang digunakan Edna adalah hasil dari pemberian orangtuanya. Setelah banyaknya perdebatan yang menghantam keluarga, diputuskan bahwa Edna harus tinggal di rumah yang sudah lama tidak ditempati itu. Edna juga harus mengucilkan diri agar tidak membawa dampak buruk bagi keluarganya. Sudah cukup rasanya bagi Edna untuk dijadikan pihak yang selalu disalahkan. Dia memilih untuk menuruti orangtuanya agar tak bertemu siapa pun. Tidak juga menatap dunia luar selain halaman rumah tersebut yang cukup luas. 

"Siapa?"

"Dean Ezra, katanya Mbak Edna kenal baik."

Pria itu. 

"Dia suami adik saya, Jena. Dia masih kerabat. Tapi saya nggak ingin bertemu siapa pun, Nur. Tolong sampaikan ke dia bahwa sebaiknya nggak perlu datang kapan pun waktunya. Saya di sini nggak menerima tamu. Saya nggak ingin bicara dengan orang lain, selain orangtua saya."

Nura yang bertugas menemani dan menyiapkan apa saja untuk Edna mengangguk patuh. Pelayan itu tidak pernah mempertanyakan hal jika memang tidak perlu. Perintah Edna adalah mutlak. 

"Baik, Mbak. Akan saya sampaikan."

Kepala pelayan di rumah itu tidak membuat Edna nyaman untuk berbicara. Untuk itulah Edna selalu meminta Nura yang memberitahunya mengenai apa pun. Dan saat itu Nura memberikan informasi yang membuat tubuh Edna bergetar menahan kemarahan. Sebelumnya tak pernah Edna bisa kehilangan ketenangan, hanya pria itu yang mampu melakukannya. Membuat Edna membenci dirinya sendiri karena tak bisa menjadi sosok yang tegas. 

Apa yang didapatkannya akibat tak tegas menyikapi seseorang? Kecewa. Edna sungguh kecewa karena tak bisa bersikap lurus seperti biasanya. Tidak tegas sikapnya datang karena cinta yang fana, dan ujungnya dia dikecewakan oleh perasaan fana itu. 

Memejamkan mata, Edna memilih untuk memberikan sedikit pelembab bibir berwarna. Dia tak boleh tampil menyedihkan meski memang hidupnya mengarah ke sana. Setidaknya bibir yang tak terlalu pucat bisa membuatnya lebih hidup. Setelah ini dia akan kembali ke ruangan lukis dan menggerakan tangannya menggulirkan kuas membentuk sesuatu yang tak jelas tapi mampu membuat isi pikirannya menguap. 

"Edna! Aku tahu kamu di dalam! Edna bicara denganku! Edna aku nggak akan pergi kalau kamu terus bersembunyi! Kamu akan mendengar teriakanku di sini, sampai kamu mau bicara denganku! Edna!"

Teriakan itu membuat Edna seketika saja pusing. Dia tak suka dipaksa, tapi sadar bahwa Dean Ezra tak akan pergi jika tak mendapatkan apa yang diinginkannya. Hanya bicara, Edna. Biarkan dia bicara di bawah. 

Edna akhirnya berdiri dari kursi riasnya. Membiarkan rambut bergelombangnya terjuntai. Gaun putih rumahan yang digunakannya menunjukkan bentuk perutnya yang sudah tidak bisa ditutupi. Edna tidak berusaha menyembunyikannya, karena memang tak perlu. Dean sudah mengetahuinya sejak awal, tapi mematahkan rasa percayanya hanya karena tuduhan-tuduhan yang bersarang dari orang lain. Tak hanya tuduhan, pria itu memang tak bisa bersikap tegas karena ambisinya. Takdir yang membawa mereka bertemu pertama kali tidak membuat segalanya indah. Pria itu terlalu patuh hingga tak mau berjuang. 

Pintu kamarnya terbuka, Edna berdiri di lantai dua rumah tersebut membuat Dean mendongak. Nura yang mendapati pemandangan itu terpukau bersama Dean. 

"Edna ...."

Why I Ain't Yours?Where stories live. Discover now