Chapter 8

417 95 1
                                    

[Bab 9,10, dan 11 sudah bisa dibaca duluan di Karyakarsa kataromchick, ya. Happy reading! Eh, nggak happy juga sih kalo baca kisah Edna🥲]

Pernikahan yang digelar begitu mewah itu dipandangi dengan reaksi menyedihkan dari Dean. Bukan. Bukan pernikahan itu yang menyedihkan, melainkan diri Dean sendiri. Dia meratapi pernikahan wanita yang menggenggam hatinya kuat saat ini. Lebih mirisnya dia menggandeng adik dari wanita itu. Kenyataan yang tidak sesuai seperti keinginannya membuat Dean merasa hatinya kosong dan sulit menerima. Orang di sampingnya bahkan terabaikan. Padahal seharusnya Dean tidak melakukannya di depan banyak tamu yang datang.

"Kakakmu sungguh luar biasa, dia menikah di usianya yang sudah tidak muda lagi. Bahkan dari kabar yang terdengar, dia sudah melahirkan seorang bayi."

Dean menegang saat seseorang di samping Jena bicara. Sejak kapan mereka membahas mengenai Edna?

"Ah, Edna memang wanita yang hebat. Dia selalu menjadi yang pertama. Bagaimana pun, Edna adalah panutanku. Dia kakak yang mampu membuat kekuasaan tunduk di kakinya."

Tawa kedua perempuan itu menggema. Jena seolah tidak risih dengan tanggapan orang lain mengenai kakaknya yang terkesan meremehkan.

"Bicara soal bayi, apa benar itu anak Mason Ragani? Bukankah aneh jika mereka baru melangsungkan pernikahan setelah bayinya lahir? Mereka bisa menikah sebelum perutnya membesar."

Semakin Dean mendengarkannya, semakin sakit telinganya mendapati semua itu. Percakapan yang sungguh tidak bermutu. Merendahkan wanita lain dari mulut kaumnya sendiri.

"Tentu saja bayi itu milik Mason. Mereka hanya terlalu banyak memikirkan pertimbangan untuk menikah. Edna saat itu sibuk, begitu pula Mason. Ini bukan zaman di mana pernikahan hanya bisa dilakukan sebelum kehamilan. Edna adalah wanita modern, dia pasti belajar banyak dari mendiang ibunya yang seorang wanita Barat. Budaya yang mengalir dalam darahnya tidak bisa berbohong."

Jena terlalu berani memberikan tanggapan untuk diberikan pada wanita yang entah siapa namanya itu. Mereka mungkin teman arisan, mungkin juga rekan ke salon ternama saja yang suka menggosip. Dean sepertinya sudah terlalu baik memberikan kebebasan bagi Jena untuk bergaul dan menyebarkan cerita. Dean bisa saja tidak peduli dengan percakapan itu, jika yang menjadi objek pembicaraan bukan Edna, bukan keluarga Jena sendiri. Sayangnya yang Dean dengar ini adalah anggota keluarga istrinya sendiri, lebih jauh lagi, sosok yang Dean cinta.

"Aku tidak tahu bahwa Edna adalah perempuan yang mengagumi budaya Barat semacam itu. Dia terlihat cerdas dan mandiri, tapi menghargai budaya Indonesia. Dulu dia sering menggunakan pakaian daerah ke kantor. Aku mengingat bagaimana dia menggunakan kebaya yang didesain dari perancang khusus hanya untuk ke kantor. Aku tidak bisa membayangkan uang yang dia keluarkan hanya untuk sehelai pakaian. Ya, dia direktur di perusahaan keluarga kalian. Aku bisa melihat seberapa besar pendapatan yang dia miliki hanya dengan kebayanya yang berganti setiap hari dan perancangnya begitu terkenal."

Jena tertawa pelan menanggapi kejulitan yang terselubung dalam pujian palsu itu. "Wajar, bukan? Edna memang berhak mendapatkannya. Aku juga begitu. Bedanya hanya pada selera fashion kami. Itu saja."

"Apa tidak ada topik yang lain untuk kalian bahas?" ucap Dean yang tidak bisa menahan diri lebih jauh.

Reaksi semacam itu membuat Jena kaku, sekaligus cemas bahwa banyak pihak yang bisa merasakan kecemburuan dalam gestur Dean. Bagaimana pun, Dean adalah suami Jena saat ini. Akan sangat aneh mendapati seorang suami tak terima ada mempelai wanita yang dibicarakan dalam konteks khusus. Lagi pula, Jena tidak merasa sedang melecehkan nama baik kakak satu ayahnya itu.

"Hon, kamu pasti capek mendengarkan pembicaraan para perempuan. Mau aku antar ke mobil?" tukas Jena yang segera memahami situasi.

"Siapa nama temanmu ini, Jena?" ucap Dean.

Why I Ain't Yours?Where stories live. Discover now