Prolog

28 7 2
                                    

Hal yang sangat didambakannya dulu, bahkan saat ia sudah tinggal bersama Harpyja yang terkenal jahat karena sihirnya adalah keadilan untuk keluarganya. 'Sikap kebaikan' yang mahal untuk keluarganya yang mati dengan tidak adil.

Namun, dimana keadilan itu? Dimana rasa kebaikan yang diucapkan oleh sang ayah setiap kali abangnya, kakaknya, dan dirinya hendak tidur di malam hari saat kehidupan kecilnya itu dihancurkan?

Adamar selalu mengikuti perkataan orang tuanya dulu. Namun, sang ayah mati dan sang ibu disekap oleh mereka yang berkhianat.

Adamar mengikuti perkataan abang dan kakaknya. Namun, sang abang mati dibakar dan kakaknya disekap bersama sang ibu.

Mereka bilang kebaikan akan menghapus stigma buruk. Namun, bukannya menghilang, mereka memanfaatkan keburukan itu untuk menghapus usaha kebaikan itu.

Jadi apa yang salah?

Tentu saja Adamar marah. Ingat sekali bagaimana ia ditampar kenyataan bahwa semua hanya keyakinan nan tabu. Stigma tidak akan menghilang jika tidak dipaksa mati. Maka, Adamar tidak terlalu mengambil pusing saat dirinya dibawa ke Villain Academy.

Karena di sini, setidaknya ia akan lebih bebas untuk berkembang dengan potensi terbaiknya, menjadi kesedihannya sebagai kekuatan untuk membalas kejahatan dengan caranya.

Caranya memang tidak lazim, namun ia yakin dapat menghapus ganjalan hati tentang 'kebaikan' itu.

Makanya, saat ia sudah menjadi murid tingkat tiga di Villain Academy, Adamar melihat kesempatan khusus ini bisa menjadi peluangnya.

Untuk membalas mereka, dengan cara yang spektakuler.

Terbukti pada pagi ini, suasana dalam kelas Math Technical berisikan murid asrama Black Saki sedang ribut. Topik hangat dibahas ini adalah sebuah kenyataan dimana ternyata dari angkatan mereka ada yang mendaftar untuk mengikuti The Golden Ticket.

Salah satunya Adamar Oribella. Harpies yang tidak disangka-sangka ikut. Mereka pikir, dia bukan tipe mau merepotkan diri sebelum waktu mereka 'Ujian Akhir' nanti.

"Kalian ini." Adda—panggilannya—tersenyum menyambut praduga itu. Ia menebarkan senyum berlesung pipitnya. "Itu kan hal normal. Kalian saja yang tidak mau ikut."

Itu memang benar. Di antara empat asrama Villain Academy, Black Saki termasuk yang jarang mengikuti The Golden Ticket. Mereka lebih menyukai belajar banyak agar lebih pintar dalam bertindak dan memikirkan rencana, sehingga mereka lebih memilih untuk mengikuti ujian akhir nanti.

Kasarnya, mereka lebih suka menggunakan kepala daripada fisik.

Tetapi, berbeda dengan Adda. Ia memiliki agenda bersama kapak peninggalan mendiang ayahnya. Jika ingin berjalan, ia harus mendapatkan perhatian para petinggi.

Seperti kata pepatah, Jika ingin menghabisi musuh, jangan dimulai dari ekornya, melainkan langsung kepalanya.

"Bilang saja sudah bosan bermain aman. Mungkin yang mendaftar ingin merasakan Black Death lebih cepat."

Adda yang sedang mengobrol asyik menatap ke depannya, terlihat jelas Nephillim yang duduk di depannya tampak mengarahkan perkataan itu untuk Adda. Murid ini memang dari awal tidak menyukai Adda. Ia percaya dibalik keceriaannya, muka Adamar Oribella punya lapisan berlapis-lapis.

Dalam hati Adda menghela napas. Ia juga berusaha menahan Tregan—teman Fairy nya untuk diam, namun tabiat Nephillim itu memang dibenci hampir semua murid kelas mereka. "Tidak ada yang mengajakmu, Nugget! Masih malu proposalnya ditolak karena curang?" seru Tregan.

Muka si Nephillim memerah karena kelakuannya itu masih saja diingat, membuatnya kembali ngeri dengan perlakuan banyak pihak padanya karena hal tersebut. Tanpa aba-aba ia mengeluarkan bola api dan melemparkannya ke meja mereka, untung saja Adda dengan sigap menangkisnya dengan tangannya yang sudah menjadi sayap.

Bola api itu tertangkis namun, ujung diadem bulu merah dikepalanya terbakar. Semua murid melihat perkelahian itu dan terpaksa tetap diam karena sang guru sudah akan masuk.

"Ayolah Noga, sesama murid dilarang membunuh, bukan?" tanya Adda sambil menampilkan senyumnya pada Nephillim itu. Ia tidak ingin masalah sepele ini menjadi panjang, bisa repot.

Padangan mereka sama-sama terkunci satu sama lain. Nephillim itu terus menatap mata berskalar hitam milik Adda. Setelah beberapa menit, ia mendengus.

"Penjilat," ucapnya. Setelahnya, keadaan mulai kembali dan normal.

"Kenapa selalu membelanya?" tanya Tregan penasaran setelahnya, mengenai sikap Adda yang jarang mengamuk.

Adda menggeleng. "Aku tidak membelanya, Tindakan tadi hanya akan berakhir debat kusir. Tidak bagus."

Teman sebangkunya itu terpaksa mengangguk. Lalu secepatnya kembali fokus ke depan. Hal yang tidak diduga, saat yang lain serius mengikuti pelajaran, Nephillim yang mengajak Adda berkelahi tiba-tiba berdiri, berjalan ke arah depan dan langsung menampar guru bersamaan dengan umpatannya.

Semua murid dibuat terkejut dan menahan napas. Jika diperhatikan lebih teliti, pelakunya tampak bingung karena melakukan hal tersebut.

Tegran yang memahami situasi segera melirik Adda. "Itu ulahmu, ya? Sejak kapan kamu menggunakan kemampuanmu pada anak menyebalkan itu?"

Adda mendekati diri ke teman sebangkunya itu agar omongannya tidak terdengar yang lain. "Lihat kan, membalas seseorang itu tidak harus baku hantam di depan. Kita dapat membalasnya secara halus atau bahkan dengan tangan orang lain. Intinya, kamu harus paham strateginya. Itu kan yang diajarkan di asrama kita ini." Adamar tersenyum sambil melepas hiasan kepala miliknya dan meletakan hati-hati di dalam kotak kayu miliknya.

Dalam hatinya tentu ia sangat kesal. Berani sekali Nephillim itu merusak hiasan kepalanya. Ingin sekali tadi ia membalas perlakuan itu, jika saja ia tidak ingat bahwa untuk membalas seseorang, tidak harus terang-terangan.

Kuncinya, biarkan targetitu merasa menang dan kita di pihak yang kalah.

Below The Sacred TreeWhere stories live. Discover now