TIGA puluh detik telah berlalu. Tanpa melontar suatu kata, Prila melayangkan tatapan kesal pada sang lawan bicara. Lex yang diharapkan memulai pembicaraan lebih dulu justru hanya memandang tak tentu arah. Pemuda itu akan tetap diam jika gadis di hadapannya tidak memaksa dia bicara.
“Enggak ada hal lain. Aku cuma mau kamu sadar kalau dunia kita berbeda.”
Prila menggeleng pelan. Lex salah jika mengira demikian. Sesungguhnya ia sangat sadar akan hal menyakitkan tersebut. Prila hanya berusaha untuk tidak memikirkan dan mempermasalahkannya.
“Emangnya kalau dunia kita beda, kita enggak boleh pacaran?” tanya gadis itu dengan ekspresi polos dan nada bicara yang menggemaskan.
“Ya jelas enggak boleh, Cantik. Kamu pasti tau kalau kebersamaan kita sekarang hanya untuk sementara.”
“Justru itu, Lex, kita harus tetep bersama selagi kamu masih punya waktu.”
Jawaban Prila benar-benar di luar dugaan Lex yang hampir kehilangan kata-kata. Gadis itu sempat membuatnya mati kutu sampai bingung harus membalas apa dan bagaimana.
“Prila, please, jangan kayak gini. Kamu ini udah dibutakan sama cinta.”
“Dan cintanya itu kamu. Kamu yang buat aku buta sekaligus gila.”
Lex akui bahwa apa yang Prila katakan memang benar, bahkan sangat benar. Semua berawal dan terjadi karena dirinya. Jika saja ia tidak meminta gadis itu untuk tetap bersamanya, mungkin rasa cinta di antara mereka tidak akan pernah ada.
“Maaf. Aku yang salah karena udah minta kamu untuk stay sama aku. Harusnya dulu aku enggak lakuin itu hanya karena rasa nyaman.”
“Kok kamu ngomongnya gitu, sih? Kamu enggak nyesel karena kenal aku, 'kan?”
Lex menggeleng. “Aku enggak pernah dan enggak berhak nyesel untuk itu, karena pertemuan kita adalah takdir. Yang aku sesali adalah tindakanku. Andai aku enggak minta kamu untuk stay, mungkin rasa cinta ini enggak akan ada.”
“Aku rasa kamu salah. Bukannya cinta ini juga takdir, ya?”
Kali ini Lex tidak bisa menjawab ungkapan gadis itu karena kehilangan kata-kata, tetapi ia memaksakan diri memutar otak demi mengelaknya. Prila yang sempat setia menanti jawaban lama-lama bosan karena sang lawan bicara tak kunjung mengutarakan.
“Udah, ya, Lex. Aku enggak mau tau, pokoknya kita harus manfaatin waktu yang ada selagi masih bisa bersama.”
Pemuda tak kasat mata itu menghela napas pasrah. Tidak berniat membalas lagi sebab merasa sudah kalah dalam perdebatan. Sang kekasih tersenyum kemudian berhambur memeluknya dengan erat seolah enggan melepaskan.
YOU ARE READING
The Same Thing • Lex (렉스)
FanfictionKenyataan yang tak sejalan dengan ekspetasi membuat Prila sempat merasa frustrasi. Lex yang dia kenal manis dan humoris, rupanya cerminan misteri berbalut teka-teki diri sendiri. [ᴍʏsᴛᴇʀʏ, ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ, ᴅᴀʀᴋ] sᴛᴀʀᴛ : 16 ᴍᴇɪ 2023 ғɪɴɪsʜ : ᴄᴏᴠᴇʀ ʙʏ : @nadh...