1

4K 358 42
                                    

"Kenapa kita putus?" tanya Wolf,

Wolf langsung to the point, dia melipat tangannya di dada, mempertanyakan kejadian yang sudah nyaris aku (iya, aku; Harim) lupakan. Kami putus saat hari kelulussan SMP, aku memang yang memutuskan Wolf, setelah aku juga yang mengajak Wolf pacaran.

Tapi kan... itu sudah lama.

Sudah lewat beberapa bulan, dan dia baru mempertanyakannya?

"Kenapa kau bertanya?" aku juga ikut melipat tanganku di dada.

Wolf tidak menjawabnya.

Ah~ aku benar-benar tidak bisa menebak isi pikirannya, Wolf itu irit bicara, dia juga tidak memperlihatkan banyak ekspresi. Aku sendiri masih terus mempelajari sikapnya ini.

"Kenapa kau bertanya, toh kau juga awalnya enggan kita pacaran. Aku duluan memaksamu, jadi kurasa wajar kalau kita putus setelah urusan kita selesai." jelasku, menghela nafas panjang sekali lagi.

Alasan kami pacaran itu jelas.

Ada kesepakatan di dalamnya,

Tidak, kami tidak berpura-pura pacaran seperti trope di novel atau drama, kami BENERAN pacaran meski hanya dalam beberapa bulan. Tapi yah, meski pacaran dalam kamus kami, tidak lah berbeda dengan hubungan pertemanan pada umumnya.

Bedanya mungkin hanya di bagian; aku dan dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama dalam beberapa bulan itu.

Dan, kurasa cuma itu.

Meski harus aku akui, masa pacaran kami berkesan untukku (berhubung itu adalah hubungan romantis pertamaku) tapi tidak kusangka Wolf pun begitu, buktinya dia tampak penasaran dengan alasan kami putus?

"Jadi, kenapa kita putus?" tuh kan, dia bertanya lagi.

Apa sepenting itu tahu alasannya?

"Apa yang kau lakukan jika tahu alasannya?" tanyaku, kini giliranku yang penasaran. Aku maju selangkah, menghadapnya langsung.

Wolf tampak berpikir kemudian-

"Tidak ada." jawabnya.

Eh?

"Aku hanya penasaran," jawabnya lagi, memasukkan tangannya di saku celana, tampak jujur dengan jawabannya yang tampak asal-asalan itu.

"Hanya karena penasaran?" aku jelas terkejut,

Eh, tu, tunggu dulu.

"Jangan bilang kau sekolah disini karena penasaran alasan kita putus?" tanyaku, bagaimana bisa Wolf melepaskan kesempatan sekolah di tempat impiannya, demi mengejarku untuk mempertanyakan alasan kami putus?

Sangat tidak masuk akal, tidak mungkin kan-

"Iya," jawab Wolf.

HAH?

"KAU GILA APA!" jeritku, buat apa dong aku mengajarinya? membuat nilainya membaik, memuluskan jalannya untuk kembali ke teman-temannya di kampung? jika pada akhirnya dia tetap sekolah di kota, di sekolah yang sama denganku?

"Hm, sedikit." jawab Wolf, bisa-bisanya...

Aku kesal, karena kesal- BRUG, aku menendang kakinya, tapi berakhir menendang tulang keringnya yang keras, "Arght!??" dan berakhir kesakitan seorang diri, sial.

Wolf masih berdiri tegak, tidak berkutik sama sekali, sementara kaki ku nyut-nyuttan, seolah habis menendang tembok.

Ini anak pasti tidak makan nasi, makan besi kayaknya. Kok bisa dia se kokoh itu? tidak goyang walau aku menyerangnya mendadak?

After Break UpTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang