47

1.1K 188 13
                                    

Suara arus air sungai yang bergemericik lembut menjadi pengiring dua saudara yang berjalan disampingnya.

Sedari tadi, DG mencuri pandang ke arah Yeon yang disinari cahaya bulan. Karena waktu masih menunjukkan waktu tengah malam, suasana pun indah dan damai.

Tidak, bukan DG.

Dia sudah menghilangkan nama DG jika sudah berada di hadapan Yeon. Meskipun menurutnya, Yeon tidak mengetahuinya, namun dia percaya ikatan saudara pasti lebih kuat dibanding apapun.

Jihoon membuka mulutnya, namun kembali terkatup. Benar, dia,

"Aku tidak bisa mengatakannya"

Jihoon mulai bimbang, apa keputusannya tepat untuk membicarakan ini? Apa pilihan dia salah untuk menemui Yeon? Adik kandungnya?

Dia mengeratkan pegangan totebag yang dia bawa, kemudian melirik kedalamnya. Terdapat banyak hadiah mini namun bergengsi yang memiliki beribu tujuan.

Ketika ekor mata Jihoon melihat sebuah bangku taman yang berada tepat dipinggir sungai Han, dia sedikit menyentuh telapak tangan Yeon. "Duduk di sana, ya?"

Yeon mengangguk, lalu mengikuti Jihoon untuk duduk dibangku yang dimaksud Jihoon.

Mereka berdua duduk berjauhan. Yeon menatap ke depan, ke hamparan sungai Han yang indah untuk dipandang. Sudut ini bahkan sejajar dimana bulan berada. Bagaikan keindahan surgawi yang tidak dapat disetarakan.

"Can i ask you?"

Yeon berdehem, menjawab pertanyaan Jihoon.

Jihoon menelan salivanya, dia melirik totebag untuk kedua kalinya lalu menghela nafas panjang. "... Do you know me?"

"Mm, i know"

Jawaban Yeon membuat Jihoon merasakan detakan jantung yang perih. Jihoon menunduk, lalu dia mulai menerbitkan senyum kecil.

Dugaannya benar, adiknya tahu kalau dia adalah Jihoon. Dia mengetahuinya sebagai Jihoon, bukan DG. Ternyata harapan Jihoon selama ini, terkabulkan.

"Bagaimana kau bisa tahu? Apa karena ikatan--"

"Jangan percaya diri" Yeon langsung memotong kalimat Jihoon, membuat Jihoon tertegun. "Aku melihat pandangan matamu saat itu. Pandangan mata yang menyiratkan kebencian."

Yeon melirik ke arah Jihoon yang menunduk, tangan Jihoon terkepal, dia tidak tahu harus berbicara apa. "Kau tahu, itu bukan--"

"Kau mau membela dirimu sendiri? Menarik."

Yeon berdiri, dia menghembuskan nafasnya lalu berjalan ke pinggiran sungai dan berjongkok. Dia mengulurkan tangannya, aliran air sungai itu terasa mendorong telapak tangan Yeon yang sudah basah.

"Bukankah aku memberitahumu waktu itu?!"

Suara Jihoon yang meninggi, disertai langkah kaki yang bersuara, membuat Yeon mengerutkan dahinya. Belum sempat Yeon membuka suara, suara Jihoon kembali terdengar.

"Aku sudah berkata padamu, maafkan aku, ini tidak akan lama. Bukankah begitu? Kau tidak mendengarnya?! Kau tidak membaca surat yang kutuliskan untukmu saat itu? Surat yang tersalip di bantalmu!"

Jihoon mengulurkan tangannya lalu menyentuh bahu Yeon. "Aku sudah berkata, Aku minta maaf, jika kau sudah masuk SMA, aku akan menemuimu"

Nada gusar yang terdengar dari pelafalan kalimat Jihoon membuat hatinya melemah. Dia menatap pantulan wajahnya di aliran sungai, kemudian beralih ke pantulan wajah Jihoon yang nampak terlihat bahwa dia sedang menatap Yeon penuh harap.

"Kenapa kau meninggalkanku saat itu?"

Yeon berdiri, kemudian berbalik. Matanya yang tajam menatap Jihoon yang menatap dia penuh ketulusan. "Kenapa kau melakukan hal itu? Kau membuatku mengenang hal pahit. Apa kau menyadarinya?"

Jihoon menelan salivanya. "Aku... Tidak bermaksud membuatmu merasakan hal pahit, hanya saja.. " Jihoon memalingkan wajahnya, membuat Yeon semakin mengernyit.

Yeon sama sekali tidak marah ataupun benar benar merasakan hal pahit, dia hanya ingin menggali dan mencari alasan Jihoon melakukan itu pada Yeon.

Tidak ada latar belakang Jihoon didalam webtoon itu.

Yeon menegang, dia kembali memutar otaknya yang merasa kosong. Dia berfikir, dan kembali berfikir. Namun, dia tidak ingat nama webtoon yang dia baca.

"Aku tidak bisa mengingatnya. Kenapa?!"

Cengkraman tangan Jihoon pada Yeon membuat Yeon tersentak, dia menatap dada bidang Jihoon. Tanpa sadar, nafasnya sudah memburu, disusul rasa pening yang menyeruak.

Yeon memaksa kesadarannya agar tetap utuh, namun, setiap kali ia mengerjap, siluet Jihoon sedang menyeringai, terlihat didalam pandangannya.

Seketika, pandangan Yeon kembali pulih ketika mendengar suara pukulan. Yeon menatap ke sekelilingnya, dia melihat Jihoon sedang berkelahi dengan pria bertopi.

"Siapa.. "

Ketika sadar bahwa pria bertopi tersebut memiliki freckles di pipinya, Yeon dengan langkah berat mendekati keduanya dan menarik kerah Yoosung.

Ketika Yeon melihat ayunan kaki yang mengarah ke arah Yoosung, dia langsung menangkisnya, membuat Jihoon tersentak dengan wajah tegang.

"Aku tidak--"

"Ayo pulang"

Yoosung mengangguk, dia menyetujui perkataan Yeon untuk mengajaknya pulang. Di benaknya sudah ada seribu alasan kepada Yoojin mengapa dia terlambat pulang.

Jika dia membawa Yeon, Yoojin pasti memaafkan kesalahan yang baru saja dia buat, kan?

"Hei, Yeon! Aku belum selesai--" Ucapan Jihoon terpotong oleh tatapan mendelik Yeon.

"Berhenti membual dan pergilah"

Setelah itu Yeon dan Yoosung memunggungi Jihoon, membuat Jihoon merasakan perasaan campur aduk yang pada akhirnya membuat dirinya sendiri emosi.

Dia sudah memutuskannya, bahwa dia, akan mendapatkan kepercayaan adiknya kembali padanya.

Jihoon mengangkat kepalan tangannya yang sudah meninggalkan bekas kuku pada telapak tangannya. "Hei, tenang saja. Akan ku laksanakan perkataanmu sebagaimana kau memberikan jaminan itu padaku."

Di sisi lain, Yoosung melirik ke arah Yeon yang memasang raut wajah rumit. Memang, dipandangan Yoosung, wajah Yeon terlihat datar dan tidak memikirkan apapun.

Namun, ketika Yoosung melihat ke pancaran matanya, Yoosung merasa, Yeon kehilangan sesuatu. Dia terlihat kehilangan... Jati dirinya. Yoosung mulai khawatir, namun, apa yang bisa lakukan untuk menenangkan Yeon?

Di depan sana sudah ada mobil Yoojin. Yoosung mendengus ketika sadar bahwa Yoojin menyadari bahwa Yoosung pergi, namun, apakah kali ini dia akan diberikan petuah? Melihat dari kondisi Yeon yang bersamanya, sepertinya Yoojin akan menghiraukan dirinya.

Pikiran Yoosung mulai merasa ganjil.

Tiba tiba Yeon menghentikan langkahnya. Dia menunduk, kemudian mendongak, menatap Yoosung yang lebih tinggi darinya. "Yoosung, duluan, ya? Aku ada keperluan dulu."

"Kau, masuk ke dalam mobil."

Bukannya dijawab oleh Yoosung, pemuda berkacamata yang sudah membuka pintu mobilnya, menatap Yeon dingin.

"Waduh mampus"

Two Roles. [ 𝐋𝐎𝐎𝐊𝐈𝐒𝐌 ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang