𝑅𝑒𝑡𝑎𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑠𝑒𝑚𝑎𝑘𝑖𝑛 𝑝𝑎𝑟𝑎ℎ.

1K 115 4
                                    


"Jaga mulut kamu."

Saga menatap wanita itu. Wanita yang dia panggil Bunda, wanita yang selalu dia tunggu kehadirannya, wanita yang katanya akan menjemputnya suatu hari nanti, wanita yang menjanjikan hidup bahagia jika Saga bertahan sedikit lebih lama lagi dengan sang ayah.

Sayangnya, ucapan itu hanya bualan semata agar sang putra tak ikut dengannya.

Bunda Saga itu ingin membangun bahagianya sendiri tanpa kehadiran Saga di sisinya. Dia ingin menciptakan keluarga baru yang harmonis tanpa ada Saga di dalamnya.

"Kenapa? Bunda nggak terima? Kenapa? LO NGGAK TERIMA GUE NGOMONG GITU?"

"DIAM KAMU ANAK SETAN!" Ayah Bobby kembali menendang tubuh Saga berkali-kali

Pak Dani menarik tubuh ayah Bobby agar menjauh dari Saga, keadaan semakin tak terkendali. Ruangan itu memanas dengan beberapa siswa yang mengintip di luar jendela.

"Pak tolong jangan seperti ini. Ayo bicarakan semuanya baik-baik."

Ayah Bobby menepis kasar tangan kepala sekolah yang menahannya. Dia menatap tajam ke arah Saga seakan ingin membunuh anak laki-laki di hadapannya ini.

"Saya mau kamu berlutut pada Bobby," ucap Bunda, wanita itu berusaha menengahi. Saga menarik senyum kecil, matanya menatap tak percaya pada sang Bunda.

"Sebenarnya anak kandung lo itu siapa sih? Bobby itu cuma anak tiri lo! Kenapa lo bela dia terus? Kenapa cuma gue yang boleh menderita? Kenapa cuma gue yang nggak pantes bahagia?"

Saga menunduk, tetesan air mata mulai menuruni pipinya, dia ingin mengatakan segala hal yang dia rasakan selama ini. Dia ingin semua orang tau betapa sakitnya hidup yang dia jalani.

Dia ingin melampiaskannya, namun tidak tau harus bagaimana. Dia kehilangan arah jalan pulang setelah rumahnya runtuh.

"Langsung aja pak. Buat surat DO saya. Nggak usah nungguin ayah. Dia nggak akan dateng kok."

Saga bangkit dari lantai cowok itu segera keluar dari ruang kepala sekolah, tanpa sepatah kata apapun lagi. Bunda dan ayah Bobby menatap punggung Saga yang menghilang di balik pintu. Punggung yang terlihat tak takut apapun itu nyatanya butuh sandaran, namun sayang, dia tidak pernah didengar.

Saga menyusuri koridor dengan tatapan lurus tak menghiraukan beberapa siswa yang memusatkan perhatian ke arahnya.

Memang ada baiknya juga dia tidak satu sekolah dengan Bobby.

***

Sepulang dari sekolah Saga hanya mengendarai motornya mengelilingi Jakarta. Ya. Jakarta. Kota itu memang hanya menyimpan luka. Ingin rasanya dia pergi dari sini meninggalkan segalanya. Namun dia bisa apa? Lagi-lagi dia dibodohi kata 'setelah hujan pasti ada pelangi'

Lagi-lagi dia hanya mengandalkan keberuntungan. Berharap kebahagiaan yang mungkin tak akan pernah dia dapatkan.

Tetes air hujan terjatuh tepat di punggung tangannya. Saga mendongak menatap awan yang kini mulai kelabu. Cowok itu menghela napas lalu menepikan motornya di sebuah minimarket

Kebetulan sekali dia belum makan dari tadi pagi. Cowok itu pun mengambil roti dan minuman kopi lalu meletakkannya di meja kasir.

"Halo? Iya Ma. Aku bentar lagi pulang kok. Eh bentar ya Ma. Ada pembeli," cewek yang menjadi kasir itu langsung mematikan ponselnya ketika melihat Saga.

"Semuanya 13.500 Mas."

Saga mengambil uangnya lalu menyerahkannya pada kasir itu. Saga menghela napas pelan lalu membawa roti dan minumannya keluar minimarket.

Welcome Home, Saga! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang