𝑆𝑒𝑚𝑖𝑐𝑜𝑙𝑜𝑛

536 63 6
                                    

"Rin ...." panggil Rega, sambil menepuk pelan pipi Rinai. Agahta meraih pergelangan tangan  sahabatnya, air matanya menetes.

"Rinai ... Udah nggak ada ...."

Rega membulatkan mata. Jantungnya terasa berhenti berdetak. Tangannya gemetar. Sementara Melinda langsung memeluk tubuh putrinya yang kini telah di dingin. Tangisnya pecah seketika, air matanya langsung mengalir.

Rega terduduk lemas di lantai. Tatapannya kosong. Perlahan bulir air menetes menuruni pipinya, "Nggak lah ... Nggak mungkin ... Cewek gue masih hidup ...." gumamnya. Rega meraih tangan Agahta lantas mengguncangnya dengan keras.

"Ga ... Lo bohong kan? Rinai masih hidup ... Kenapa lo tega bilang dia udah nggak ada? Jawab Aga! JAWAB!" teriak Rega. Aghata terdiam. Cewek itu menatap Rinai dengan tatapan tak percaya.

"Aga jawab, gue mohon ... Kenapa jadi gini ... Kenapa?" Rega semakin terisak keras. Bahunya bergetar. Tangannya naik menjambak rambutnya sendiri. Kenapa semuanya terjadi begitu cepat? Hatinya remuk seketika. Sakitnya begitu kentara. Rega meremas kepalanya, sesaat cowok itu kehilangan kesadaran.

"Re ... Re ... Bangun Re ...." panggil Agahta, sambil mengguncang pelan bahu Rega. Cewek itu menunduk. Air matanya menetes dengan cepat.

"NAK! JANGAN GINI! MAMA MOHON! BANGUN NAK!" teriak Melinda sambil terus memeluk erat tubuh putrinya. Dia terisak hebat. Ayah mendekat lantas mengelus pundak istrinya. Air matanya berlinang menatap sang putri yang kini telah terpejam rapat.

"INI SEMUA KARENA ANAK SIALAN KAMU!" Melinda mendorong tubuh suaminya dengan keras, "ANAK SIALAN ITU UDAH BUNUH PUTRI SAYA! SAYA SAMA SIAPA LAGI DI DUNIA INI! KENAPA? KENAPA HARUS KAMU YANG DIPERLAKUKAN BEGINI NAK!"

Agahta menunduk, dia duduk di samping sahabatnya, dia memejamkan mata seiring dengan tetes air yang turun dari kedua matanya. Kedua tangannya bergetar hebat. Dia merasakan kehilangan untuk yang kesekian kalinya.

Semuanya terasa hancur hanya dalam waktu semalam. Semuanya terasa runtuh tanpa bisa diperbaiki lagi.

***

Ayah begitu terluka, sangat terluka kehilangan putri yang begitu disayanginya. Tatapan hancurnya terlihat begitu kentara. Amat berbeda dengan tatapannya ketika sang putra menangis karenanya.

Kini ayah berada di rumah sakit. Sambil merangkul sang istri yang terus terisak hebat. Kematian Rinai membuatnya semakin bimbang. Semua ini terasa begitu cepat. Dengan hati yang begitu hancur. Dia membawa sang putri ke rumah sakit untuk otopsi.

Tidak ada tanda-tanda bunuh diri dalam kematian Rinai. Tak ada pergelangan tangan yang terluka maupun tali yang menggantung di leher. Sungguh, tak ada alasan yang logis tentang kepergian putrinya itu.

Agahta bersandar di tembok rumah sakit, tatapannya terlihat hampa dengan bekas air mata yang masih menempel di pipinya. Dia melirik Rega yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Cowok itu tidak bisa menerima kepergian kekasihnya. Agahta menghela napas pelan. Dia terlalu lelah untuk mengahadapi ribuan kehilangan dalam hidupnya.

Sesaat terdengar suara notifikasi khas pesan masuk dari ponselnya. Dia meraih benda pipih itu lantas melihat pesan yang baru saja masuk.

Saga.
Kayaknya gue butuh lo....
Gue mohon kesini bentar....

Agahta terdiam membaca pesan yang dikirim Saga. Cowok itu juga mengirim maps yang menunjukkan lokasinya saat ini. Agahta memasukkan ponselnya ke dalam tas lantas bergegas menuju ke lokasi yang ditunjukkan Saga.

***

#loveforinai
160,9k Tweets

Tagar dukungan untuk Rinai terus bertambah setiap harinya. Berbagai tanggapan simpati masyarakat terus menguar, untuk menyemangati gadis yang kini bergulat dengan traumanya itu. Sebaliknya hujatan-hujatan pedas terus di tunjukkan kepada Saga, sebagai pelaku dari penganiayaan dan pemerkosaan pada adik tirinya itu.

Welcome Home, Saga! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang