Part 28 : Ungkapan Hati Pak Slamet

1K 80 7
                                    

Gema suara kokok ayam jantan samar samar mulai terdengar. Pak Slamet masih terus berjalan tertatih sambil menggendong Bu Ratih yang belum juga tersadar dari pingsannya. Demikian juga dengan Lintang, yang masih terus mengikuti langkah sang kepala sekolah dengan Wulan yang kini telah tertidur pulas dalam gendongannya.

"Kenapa berhenti Pak?" Tanya Lintang saat tiba tiba Pak Slamet menghentikan langkahnya.

"Sebentar Tang! Perasaan kok dari tadi kita muter muter disini saja ya," jawab Pak Slamet sambil melihat ke sekeliling.

"Jangan jangan kita tersesat Pak?" Suara Lintang terdengar panik.

"Entahlah Tang. Mudah mudahan sih tidak. Kau dengar kan suara kokok ayam jantan itu? Kata orang, kalau kita tersesat di hutan terus dengar suara kokok ayam jantan begitu, itu tandanya kita sudah dekat dengan area desa atau perkampungan Tang," ujar Pak Slamet, mencoba menenangkan hati Lintang.

Laki laki itu sendiri sebenarnya tak begitu yakin, apakah mereka benar benar sudah mendekati desa, atau justru semakin jauh tersesat masuk kedalam hutan. Sulit untuk menentukan arah di tengah hutan belantara begini. Apalagi di tengah suasana malam seperti ini. Rasi bintang di atas sana pun juga tak bisa banyak membantu, karena tertutup oleh lebatnya dedaunan. Sementara suara kokok ayam jantan yang didengarnya, itu juga belum tentu berasal dari sebuah desa, mengingat saat ini mereka berada di tengah rimba belantara.

"Kalau begitu, ayo kita jalan lagi Pak. Saya sudah nggak sabar ingin cepat cepat sampai di desa," kata Lintang penuh semangat.

"Jangan terburu buru Tang. Ada baiknya kita istirahat dulu, sambil menunggu pagi datang. Kan lebih mudah untuk kita menentukan arah kalau suasana hari sudah terang. Lagipula bapak juga sudah sangat lelah Tang," Pak Slamet menurunkan tubuh Bu Ratih dari punggungnya, lalu menyandarkannya pada batang sebuah pohon. Lintangpun segera mengikuti apa yang dilakukan oleh Pak Slamet. Ia menurunkan tubuh Wulan dan menyadarkannya tepat disamping tubuh Bu Ratih.

Beruntung, api belum sempat merambat sampai di tempat mereka kini berada, hingga mereka bisa sedikit lebih nyaman untuk beristirahat barang sejenak. Lintang dan Pak Slamet, masing masing lalu duduk menyandarkan punggung pada batang pohon pilihan masing masing.

"Kalau kamu ngantuk tidur saja dulu Tang. Biar bapak yang berjaga. Nanti kalau matahari sudah terbit bapak bangunin," kata Pak Slamet lagi.

Tanpa menunggu diperintah untuk kedua kalinya, Lintang segera menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Rasa kantuk, lelah, haus, dan lapar yang berbaur menjadi satu, membuat anak itu tak butuh waktu lama untuk segera terbang ke alam mimpi.

Praktis, kini tinggal Pak Slamet yang terjaga. Laki laki itu sebenarnya juga merasakan lelah yang sama seperti yang Lintang rasakan. Namun rasa tanggung jawabnya untuk menjaga dan melindungi orang orang yang kini terlelap di hadapannya itu, membuatnya tak bisa untuk ikut memejamkan mata meski hanya sesaat. Untuk mengusir rasa kantuk yang semakin berat menggelayut di pelupuk matanya, ia memandangi wajah dari orang orang yang berada di hadapannya.

Wulan nampak tersenyum dalam lelapnya. Entah mimpi apa yang dialami oleh anak itu. Namun senyum yang tersinggung di bibirnya nampak begitu manis. Sementara Lintang, gurat kelelahan jelas tergambar di wajah anak laki laki bertubuh gempal itu. Sementara Bu Ratih ..., Ah, bahkan dalam keadaan pingsanpun perempuan itu tetap terlihat cantik. Rambut panjangnya yang telah tergerai acak acakan, noda noda yang menempel di wajah, bahkan pakaian laki laki yang kini membungkus tubuhnya, sedikitpun tak mampu menutupi kecantikan alami dari wajah sang guru muda.

Seulas senyum tanpa sadar mengembang di bibir Pak Slamet. Ia merasa bangga memiliki anak didik dan teman sejawat yang tangguh dan berbakat seperti mereka. Petualangan menegangkan yang baru saja ia lewati bersama ketiga orang itu, menjadi bukti seberapa hebat dan tangguhnya mereka untuk saling menjaga dan melindungi satu sama lain.

WULAN [Dendam Kesumat Dari Masa Silam]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora