Side Story

1.3K 84 22
                                    

Ratih namaku. Aku lahir tepat saat bulan purnama, ditengah carut marutnya suasana negeri yang tidak stabil akibat pergolakan politik yang memanas. Perebutan kekuasaan, pemberontakan, dan berlanjut dengan perang antar sesama saudara sebangsa, membuat keluargaku ikut terseret kedalam kancah pergolakan itu.

Kakekku, seorang bekas pejuang kemerdekaan, dijemput paksa tepat di malam saat aku dilahirkan, lalu menghilang tanpa pernah ada kabarnya lagi. Hanya sebuah kecupan kecil yang sempat diberikan olehnya padaku saat itu, sebelum ia dibawa oleh sekelompok orang orang beringas berpakaian serba hitam.

Tak cukup sampai disitu, keluargaku juga menjadi bulan bulanan fitnah yang tak berkesudahan. Sedikit masalah sepele saja, langsung dikait kaitkan dengan masa lalu kakekku yang bahkan aku sendiri tak tahu apakah yang mereka tuduhkan terhadap kakekku itu benar atau tidak.

Tak tahan dengan segala gunjingan dan badai fitnah yang bertubi tubi itu, membuat ibuku akhirnya pergi meninggalkan aku dan ayahku. Benar benar pergi tanpa pamit, dan tak pernah kembali lagi setelah beberapa kali terlibat perdebatan perdebatan kecil dengan ayahku.

Praktis, setelah itu aku hanya hidup berdua dengan ayahku, yang meski hidup ditengah masyarakat yang membenci dan mengucilkannya, beliau tetap tabah dan sabar menjalani hidup dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang.

Hingga puncaknya, peristiwa itu terjadi. Saat itu aku baru berusia tujuh tahun. Lagi lagi ayahku terlibat perselisihan dengan warga. Ayah dituduh telah menyerobot tanah milik salah satu warga dengan menggeser patok batas tanah miliknya dengan tanah milik ayahku.

Meski ayahku telah bersumpah bahwa ia sama sekali tak melakukan apa yang telah dituduhkan oleh warga tersebut, namun mereka tetap tak percaya. Tepat didepan mataku, ayahku dikeroyok, dianiaya, dan nyaris dibantai oleh warga.

Entah setan apa yang merasukiku di malam yang terkutuk itu. Melihat ayahku yang sudah tak berdaya itu menjadi bulan bulanan warga, darahku seperti mendidih seketika. Sekilas nampak sekelebat bayangan kakekku, lalu tubuhku memanas. Dengan amarah yang memuncak, aku menerjang kerumunan orang orang yang mengeroyok ayahku, dan setelahnya aku tak ingat apa apa lagi.

Saat tersadar, aku sudah berada dalam pelukan seorang laki laki asing yang tak kukenal. Mayat mayat bergelimpangan disekitarku. Darah membanjir dimana mana. Bahkan tubuh dan pakaianku juga penuh dengan darah. Potongan potongan tubuh berserakan, tak jelas lagi milik siapa dan kenapa.

Ayahku, kulihat beliau juga telah terkapar bersimbah darah dengan tubuh penuh luka. Entah masih hidup atau sudah mati, aku tak tahu pasti. Sampai sebuah erangan kecil terdengar dari mulutnya. membuatku sedikit lega, karena itu menandakan bahwa ia masih bernyawa.

Aku menjerit histeris saat itu, lalu menghambur memeluk tubuh ayahku. Laki laki asing itu mencoba menenangkanku, lalu mengajakku pergi dengan membawa serta ayahku yang sudah tak berdaya itu.

"Kemana kau akan membawa kami Kek?" Tanyaku waktu itu sedikit ragu.

"Jangan takut anak manis. Aku akan membawamu ke tempat yang lebih aman, sebelum orang orang itu datang kemari," jawab laki laki itu.

"Tidak! Aku tak mengenalmu! Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" Meski masih belia, namun pengalaman mengajarkanku untuk tak mempercayai sembarang orang. Apalagi orang yang tak kukenal.

"Kau dengar suara itu?" Laki laki itu berkata datar tanpa ekspresi. Saat itu samar samar kudengar suara menderu dari kejauhan. Aku sudah hafal, itu suara mesin truk besar dengan terpal hitam yang menutupi bagian bak belakangnya. Dan aku juga sudah hafal, setiap truk seperti itu datang, maka huru hara akan segera tercipta.

WULAN [Dendam Kesumat Dari Masa Silam]Where stories live. Discover now