TO BE 1

4.2K 236 9
                                    

Pagi ini, suasana begitu canggung di ruang makan keluarga Reinhard, hanya ada Lio dan kedua orang tuanya, sedangkan kedua kakaknya sudah lama berada diluar negeri untuk mengurus pekerjaan dan melanjutkan study disana.

Dentuman sendok beradu satu sama lain, suasana begitu hening sesaat sebelum sang ayah mengucapkan kata yang setiap harinya selalu ia dengar.

"Habiskan makanmu, setelah itu ayah akan mengantarmu, ingat! sepulang sekolah ada les matematika jangan sampai lupa, dan ya, ayah dengar dari gurumu hari ini kamu ulangan?" Tanya sang ayah, Gerald bahr reinhard.

"....iya ayah." Jawabnya seadanya.

"Ingat, jangan kecewakan kita Lio." Ucap Nindira Lewis, sang bunda.

"Hm." Nafsu makannya kini telah menghilang, padahal sudah sejak kemarin ia tidak makan.

Selalu saja seperti ini tiap paginya, padahal dirinya hanya ingin menikmati sarapan dengan tenang tanpa tetuah sang ayah, dan peringatan sang bunda.

"Lio!" Panggil Nindi saat sang anak beranjak dari kursi, lalu menghampiri Lio.

"Dengarkan bunda, ayah dan bunda seperti ini demi masa depanmu jadi ingatlah itu!" Tutur Nindi lembut sembari menggenggam kedua tangan sang anak.

Lio tersenyum tipis mendengar penuturan sang bunda, lalu pamit pergi menuju sang ayah yang telah menunggu di garasi.

Saat di dalam mobil, tidak ada percakapan di sana, Lio sesekali melirik para pejalan kaki yang melintas, rasanya iri melihat interaksi orang tua dan anak tanpa rasa canggung yang menyelimuti.

Tak terasa setelah 30 menit perjalanan mereka telah sampai di sekolah, Lio keluar dari mobil setelah mendengar ceramah dari sang ayah, lagi.

Ia berjalan sedikit tergesa menuju kelasnya, 30 menit lagi bel sekolah akan berbunyi, berarti masih ada sisa waktu untuk ia bisa kembali mempelajari mapel yang telah ia pelajari untuk persiapan ulangan.

Lio duduk di bangkunya, membuka buku miliknya, lalu sesekali menghafal rumus yang sekiranya penting untuk ia ingat.

"Lio....!" Panggilnya geram, kemudian berjalan duduk di samping kursi Lio.

"Ini masih pagi loh!" Ingatnya, merasa tidak ada respon dari sang sahabat, ia kembali berceletuk.

"Nggak belajar sebentar nggak akan buat bodoh Lio....." ucapnya, membuat Lio menatapnya tajam.

Bukan karena ia ingin Lio malas, tapi itu karena Lio sering sekali belajar di mana pun jika ada waktu luang.

"Udah lah yan, lagian lo juga nyontek punya gue." Dengusnya karena sudah tidak tahan mendengar ocehan sang sahabat.

"Heheh iya juga sih." Balas Ian tanpa dosa, lalu matanya kembali fokus memperhatikan sahabatnya itu belajar.

Ian jadi heran, padahal ia juga mencontek jawaban pada Lio setiap kali ada ulangan, tapi anehnya nilainya selalu lebih kecil dari Lio, sungguh misteri yang harus di pecahkan.

Ngomong ngomong soal sahabat, Lio mempunyai tiga sahabat, yaitu Ian, frans, dan Kendra, mereka bertiga sebenarnya anak dari rekan rekan bisnis gerald, pada awalnya Lio hanya di suruh untuk bisa dekat dengan mereka bertiga dengan alasan demi koneksi masa depan.

Namun, setelah lebih dari beberapa tahun mengenal mereka, entah mengapa rasanya seperti Lio nyaman berteman dengan mereka, Atau apakah mereka juga menganggap Lio sahabat mereka? Ya, Lio juga ingin menanyakannya langsung, namun, jika jawaban yang mereka ucapkan tidak sesuai dengan apa yang di harapkan Lio bagaimana?, jadi...mungkin diam lebih baik kan? Karena hanya dengan mereka Lio bisa sedikit melepaskan beban di pundaknya yang mungkin saja sewaktu waktu bisa menghancurkannya.

"Kendra sama frans mana? Tumben belum pada dateng?" Tanya Lio, karena jika ada mereka berdua, maka Lio jamin ia tidak akan bisa kembali belajar, ya mungkin dengan mengorbankan buku yang di lempar keluar cendela oleh Kendra.

"Ada urusan sebentar di ruang osis, habis ini palingan mereka berdua dateng." Jawab ian dan mendapat anggukkan mengerti oleh Lio.

Tiga puluh menit telah berlalu, kini mereka semua bersiap mengikuti ulangan fisika, total dua puluh lima soal dan harus dikumpulkan tepat satu setengah jam setelahnya.

Awalnya Lio dengan mudah mengerjakan soalnya, namun setelahnya ada beberapa soal yang membuat ia kebingungan mendapat jawabannya, waktu terus berjalan, tinggal lima belas menit lagi lembar jawaban akan di kumpulkan.

Masih ada tiga soal lagi yang harus ia jawab, berulang kali ia mengingat ingat beberapa rumus untuk mendapatkan jawaban yang dicari, namun, waktu semakin habis yang membuat Lio harus mengkosongkan dua jawaban dari dua puluh lima soal, tidak banyak memang, tapi itu mampu membuat Lio tidak tenang.

Saat perjalanan menuju kantin, kedua tangan Lio tidak berhenti untuk meremas jari jari tangan karena perasaan cemas.

Ini mulai terjadi saat ia telah memasuki SMA pada kelas 10, tepatnya satu setengah tahun lalu, awalnya ia biasa saja karena nilainya sedikit di atas rata rata, namun semua berubah setelah mendengar penuturan kedua orang tuanya, itu membuatnya mimiliki rasa cemas yang berlebihan.

Terlebih, sesekali orang tuanya akan membandingkan dia dengan kedua kakaknya, memang orang tua Lio tidak akan bermain tangan, namun, itu berpengaruh pada jam belajar Lio, dan selama ini ia hanya mampu tidur tiga sampai empat jam saja, itu pun jika tidak ada tambahan tugas dari sang ayah.

Frans yang peka melihat gelagat aneh dari Lio menepuk pelan pundak Lio.

"Tenang Lio nggak akan terjadi apa apa kok, intinya lo udah ngelakuin yang terbaik." Ucapnya menenangkan Lio, memang mulutnya berucap demikian, namun tidak dengan hatinya yang ikut khawatir dengan Lio.

Lio menatap mata Frans intens," iya." Singkatnya, hatinya berusaha menenangkan, namun tidak dengan sirat mata yang memancarkan ketakutan.

Memangnya apa yang Lio takutkan? Ayahnya tidak pernah memukulnya, bundanya juga tidak pernah memarahinya, namun mengingat tuntutan kedua orang tuanya lah penyebab awal rasa takutnya.

Ia takut jika tidak memenuhi ekspektasinya, ia juga takut mengecewakan kedua orang tuanya.

Mereka semua tau tentang semua tuntutan kedua orang tua Lio, namun mereka hanya mampu memberikan dorongan untuk membuat Lio kembali semangat dan menemukan jati dirinya.

Awalnya Lio bukanlah sosok pemuda yang suka berdiam diri, namun semenjak ia memasuki bangku SMA, ia bahkan enggan untuk pergi bermain dengan sahabatnya, jika ia mau pergi, itu juga karena paksaan ketiga temannya, dan berimbas pada jam belajarnya yang di tambah.

Lio tidak bisa pergi keluar jika lebih dari dua jam, maka dari itu mereka hanya bisa pergi ke cafe cafe terdekat.

Sudah waktunya untuk pulang sekolah, seluruh siswa berbondong bondong keluar gerbang sekolah, namun tidak dengan ke empat pemuda tadi yang masih berjalan santai menuju tempat parkir.

"Kita nongkrong yuk, ada cafe baru buka nih!" Ajak Ian yang langsung di tolak oleh Lio.

"Kalian pergi aja, gue masih ada les matematika habis ini." Potongnya cepat.

"Kan nggak asik nggak ada lo Li." Ucap Kendra.

"Kalian pergi aja, gue nggak apa apa kok, lain kali kita ke sana." Balasnya lagi.

"Ya tapi kan...."

"Udah pergi aja, hati hati ya, ah tuh pak Tono udah nunggu di depan, gue jalan dulu." Pamitnya lalu berlari menghampiri mobil jemputan miliknya, meninggalkan ke tiga sahabatnya yang menatap dirinya.

"Kita kemana den?" Tanya supir.

"Ke tempat les matematika pak!" Jawabnya lalu menyenderkan tubuhnya di kursi mobil.

Tidak perlu di jelaskan lagi kenapa supirnya tidak bertanya alamat tempat lesnya, karena pak Tono sudah hafal karena setiap hari mengantarkan Lio ke tempat les yang berbeda beda, itu berlaku selama enam hari dalam satu minggu, dan hanya hari minggu saja Lio bisa beristirahat di mansionnya, itu pun harus diselingi belajar.

Vote and coment juseoyo!!!

SABTU, 19 AGUSTUS 2023

00.35

TO BE PERFECT(D.R) ✔️Where stories live. Discover now