TO BE 10

2.7K 199 5
                                    

Untuk namanya tetap sama yaaa, soalnya aku males mikir (゚з゚)

.
.
.
.
.
.
.
.
.

'Nyaman.'

'Apakah ini yang dirasakan seseorang setelah mati?'

Saat dirinya dilanda kenyamanan, tiba tiba suatu dorongan memaksanya untuk melewati hal yang membuat tubuhnya sakit.

Ia membuka matanya perlahan.

'Rasanya asing!'

'Dimana ini?'

Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sayup sayup ia dengar beberapa orang berbicara.

"Dokter kenapa bayinya tidak menangis, lakukan sesuatu!"

"Dok, nafas bayinya lemah."

'Kenapa aku ngantuk sekali?'  Setelah itu, matanya kembali terpejam.

Ia bahkan tidak sadar, bahwa tidurnya membuat semua orang yang berada di ruangan itu kelimpungan.

Suasana di ruangan bersalin sangat tegang, bayi dari pasangan Gerald bahr reinhard dan Nindira Lewis yang baru lahir beberapa menit tadi tidak menunjukkan tanda tanda kehidupan.

Dokter yang berada disana berusaha untuk membuat bayi itu kembali bernafas, setelah lima belas menit berusaha, akhirnya usaha yang mereka lakukan tidak sia sia, bayi itu kembali bernafas, walau pun nafasnya masih lemah.

Pasangan itu merasa lega setelah mengetahui anaknya kembali bernafas, ucap syukur mereka ucapkan.

Setelah memeriksa sang bayi, sang dokter kemudian menginterupsikan seorang perawat agar memasukkan sang bayi ke inkubator dan membawanya ke ruangan khusus, karena dalam pemeriksaan tadi, dokter merasakan beberapa keanehan pada tubuh sang bayi, terlebih lagi, bayi itu lahir saat usia kandungan masih delapan bulan.

"Lebih baik kamu istirahat dulu istriku, kamu mungkin lelah setelah melahirkan anak kita!" Pinta Gerald pada sang istri, ia tidak tega melihat Nindira yang terlihat kelelahan.

"Tapi mas..."

"Tidak apa apa, biar Lio aku yang jaga!" Putusnya sembari membantu sang istri ke posisi yang nyaman.

Ya, mereka sepakat menamai anak ketiga mereka dengan nama 'DELVIN ELISEO REINHARD' sama dengan kehidupan bayi itu sebelumnya.

Setelah mendengar ucapan sang suami, Nindira memilih mengistirahatkan tubuhnya, walau pun sebenarnya dirinya merasa berat untuk jauh dari sang anak.

Nindira di pindahkan ke ruangan yang sudah di sediakan di rumah sakit tersebut, karena memang kelurganya mempunyai ruangan khusus di sana.

Sesudah mengantar sang istri ke ruangannya, Gerald memutuskan mengunjungi sang anak, walau pun ia tidak di perkenankan masuk dan hanya melihat bayinya di pembatas kaca.

Sang dokter yang membantu persalinan tadi menghampiri Gerald agar ikut bersamanya ke ruangan miliknya untuk menjelaskan kondisi sang bayi.

.
.
.
.

Kini Gerald telah berada di ruangan dokter, ia dengan seksama mendengar penjelasan sang dokter perihal Lio, anaknya.

"Bagaimana dok?" Tanya Gerald mengawali.

"Begini pak, kondisi anak bapak sekarang telah membaik, mungkin penyebab anak bapak tidak dapat menangis karena anak bapak kemasukan cairan ketuban ke dalam tubuhnya saat proses persalinan berlangsung, dan itu juga pemicu anak bapak kehilangan nafasnya dalam sesaat, dan untuk selebihnya anak bapak baik baik saja. Namun.... anak bapak masih harus dalam inkubator karena ia lahir dalam kondisi prematur dan rentan terhadap bakteri dan infeksi." Jelas sang dokter panjang.

"Berapa lama dok?" Tanya Gerald lagi.

"Mungkin satu minggu pak, namun bisa juga lebih dari itu, intinya kita akan terus pantau perkembangan anak bapak." Jawabnya.

"Baiklah dok, terima kasih, saya permisi." Pamit Gerald undur diri.

Setelah keluar dari ruangan dokter, Gerald kembali menuju keruangan istrinya berada, ia duduk di samping sang istri sembari mengusap pelan pucuk kepala Nindira.

Nindira yang merasa terganggu kemudian terbangun, ia merasa khawatir saat melihat raut wajah sang suami, ia pun bertanya.

"Kenapa mas?" Suara Nindira sedikit serak.

"Ah maaf aku membangunkan tidurmu." Sesalnya.

"Tidak apa, kenapa wajahmu seperti itu, gimana keadaan anak kita?" Tanya Nindira.

"Anak kita baik baik saja, namun ia harus berada di dalam inkubator selama seminggu, namun kata dokter, bisa lebih dari itu." Jelasnya.

"Maaf mas, ini semua karena aku mas, andai saja aku tidak ceroboh, pasti anak kita akan sehat." Sesal Nindira, ia merasa bersalah karena tidak bisa berhati hati saat dirinya tengah hamil besar.

"Tidak, ini bukan salahmu atau salah siapa pun, mungkin ini sudah takdir, lebih baik kita berdoa agar Lio segera pulang ke rumah Kita." Sangganya.

Sebagai seorang ibu, mungkin Nindira merasa bersalah karena tidak menjaga kandungannya dengan baik, terlebih lagi ia merasa itu semua karena salahnya, andai saja ia tidak terburu buru, mungkin dirinya tidak akan terjatuh dan berakhir melahirkan sang anak dalam kondisi prematur.

.
.
.
.

Tiga hari setelah melahirkan, Nindira diperbolehkan untuk pulang, namun tidak dengan sang anak. Sekali lagi, Nindira merasa berat meninggalkan sang anak di rumah sakit walau pun ada bodyguard yang senantiasa berjaga disana.

Sebelum pulang, Nindira dan Gerald menyempatkan untuk melihat sang anak, walau pun sama seperti sebelumnya, mereka tidak di perbolehkan memasuki ruangan sang anak karena kondisi Lio yang masih harus di pantau.

Nindira merasa tidak tega saat melihat anaknya bergerak tidak nyaman karena selang yang masuk ke hidung serta mulutnya, terlebih lagi ia tidak pernah mendengar tangisan sang anak bahkan sesaat setelah anaknya lahir, beberapa kali ia bertanya pada dokter yang merawat sang anak, namun menurut dokter tidak ada yang salah pada sang anak.

Nindira berusaha berfikir positif, mungkin anaknya itu anak yang baik dan tidak ingin merepotkan orang lain.

Hah membayangkannya saja membuat Nindira bahagia, ia jadi tidak sabar untuk segera membawa sang anak pulang.

Apa lagi kedua anaknya yang selalu menanyakan keberadaan sang adik, karena Nindira dan Gerald tidak mengijinkan mereka untuk pergi ke rumah sakit, jadi mereka hanya bisa bertanya melalui ponsel.

Sedangkan di lain sisi, Lio bayi itu merasa tubuhnya tidak nyaman, netranya terbuka sesaat, silau cahaya masuk ke retinanya.

'Dimana ini?'

'Bukankah aku sudah mati?'

'Jika tidak, apakah ayah dan bunda menyelamatkanku?'

'Kenapa tubuhku tidak nyaman, aku ingin bergerak, namun, kenapa rasanya pergerakan tubuhku dibatasi?'

'Aku ingin bertemu ayah dan bunda, tetapi aku masih takut saat mengingat raut wajah marah mereka.'

Perasaan sedih menyelimuti bayi itu, karena perasaan sesak yang tersimpan di lubuk hatinya paling dalam, akhirnya bayi itu untuk pertama kalinya menangis, setelah terlahir kembali.

Oek... oek... oek....

(Aneh banget pas scene ini, mo nangis rasanya ㅠㅠ.)

Mereka hampir meninggalkan ruangan sang anak, mereka terkejut saat mendengar tangisan sang anak, mereka berbalik, untuk pertama kalinya Nindira mendengar tangisan sang anak, ingin sekali ia menghampiri dan menenangkan tangisan yang baru pertama kali ia dengar dari sang anak, namun mengingat ucapan sang dokter, ia memilih menahan keinginannya.

"Mas, Lio menangis mas." Ucapnya penuh haru, tidak terasa air matanya menetes membasahi wajah cantiknya.

"Iya, anak kita menangis." Balasnya sembari memeluk tubuh Nindira.

Kejadian itu menjadi kenangan tersendiri bagi pasangan Gerald dan Nindira terlebih lagi, bagi Lio yang terlahir kembali.

TO BE PERFECT(D.R) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang