Bab 6

234 12 0
                                    

Zea terduduk di kursi taman belakang sekolah, pikirannya berkelana melihat pemandangan di ruang UKS. Meskipun alan dan yang lainnya melarangnya ke sana, Zea tetap nekat ke sana setelah membohongi valen dan Vivian. Zea tetap mencari penyakit menambah luka yang sebelumnya belum sembuh.

Melihat kedekatan bian dan sila, Zea sungguh iri. Bian menjadi sosok yang berbeda pada sila yang tak pernah ia temui ketika bersamanya. Dia menjadi laki-laki yang hangat, sangat lembut, penuh perhatian, bahkan usapan lembut di kepala sila sungguh membuatnya tersenyum kecut,bukankah posisi itu dan perlakuan itu seharusnya miliknya sebagai orang yang memiliki hubungan yang jelas dengan bian.

Zea menengadah ke atas, memaksa air matanya untuk tidak jatuh lagi, tapi wajah seseorang yang tiba-tiba muncul di depannya membuat Zea terkejut bukan kepalang.

"Nangis?"

"Engga, cuma kelilipan," Bohong Zea mencoba menyembunyikan wajahnya.

"Kak Alfi ngapain di sini?" tanya Zea.

"Mau ngerokok," Jawabnya enteng sambil memperlihatkan satu bungkus rokok pada zea.

Zea tak percaya jika Alfi adalah seorang perokok.

"Kenapa ngerokoknya di sini, cari tempat lain aja," Usir Zea.

"Ze, aku biasanya ngerokok disini, seharusnya kamu ngapain ke tempat sepi seperti ini, nangisin bian?" Ledek Alfi sambil mengeluarkan satu batang rokok dan siap-siap mematik pematiknya, tapi gadis itu malah merebut pematiknya.

"Sok Tau," Jawab gadis itu kesal.

"Awas aja kak Alfi berani ngerokok, aku bilangin sama pak raka, lagian kak Alfi itu pengurus OSIS lo, seharusnya ngasih contoh yang baik sama disiplin juga," Omel Zea.

"Cerewet, kayak burung beo,"

"Hah, kak Alfi tadi bilang apa?"

"Lo cerewet ze,"

"Nggak, setelah itu kak Alfi bilang apa?"

"Kayak burung beo."

"Emang pernah lihat burung beo secantik aku?"

Alfi mengangguk, membuat alis Zea berkerut. Beberapa kali berkomunikasi dengan Alfi, baru kali ini ia merasa laki-laki ini agak lain.

Zea teringat dengan undangan yang akan ia berikan, mumpung orangnya lagi bersamanya, cepat saja undangan itu ia sodorkan.

"Besok kak Alfi datang ya, ke pesta ulang tahun aku, jangan lupa bawa kado hehehe."

"Gue datang kok, tapi kalau gue bawa teman boleh nggak?"

"Boleh dong, yaudah aku mau ke kelas dulu, " Pamit Zea beranjak dari taman untuk segera menuju kelasnya, belum beberapa langkah melangkah, gadis itu berbalik sambil melemparkan pematik yang tadi sempat ia rebut paksa dari alfi membuat Alfi geleng-geleng kepala dengan kelakuan Zea.
.
.
.
.
  Hari yang di tunggu akhirnya datang juga, malam ini adalah malam perayaan ulang tahun Zea yang ke 17.
Tadi siang Zea menelfon orang tuanya cukup lama mereka berbicara, membahas apa saja yang terlintas dalam pikiran masing-masing.

Selain mengucapkan selamat ulang tahun, untuk anak semata wayang, orang tua Zea juga meminta maaf karna tak sempat hadir di salah satu momen penting hidup anaknya.

Apakah Zea kecewa terhadap mereka?
Jawabannya adalah tidak, gadis itu tahu kalau mereka berdua begitu menyayanginya, ditambah sebentar lagi mereka akan pulang, Zea tidak sabar untuk bertemu mereka dan kembali ke rumahnya.

Namun ada satu hal yang membuat Zea penasaran akan kado ulang tahun yang diceritakan mamanya. Sebenarnya kado apa yang akan ia terima.

Gadis itu menatap tampilan dirinya di cermin.  Dressnya elegan namun tak berlebihan, sesuai dengan seleranya dan ia rasa malam ini ia benar-benar cantik, vani memang tak pernah gagal memilih dress untuknya.

ANOTHER SIDEDonde viven las historias. Descúbrelo ahora