BAB 7

644 34 9
                                    

Sesuai ucapan bian, gadis itu terus menunggu bian datang menjemputnya, pesta ulang tahunnya sudah berakhir satu jam yang lalu, kini hanya dia sendirian yang berada di ruangan itu. Sudah beberapa kali ia menghubungi bian tapi nomor pria itu tak dapat di hubungi.

Berniat menghubungi vani, tapi ia tak sampai hati, jangan sampai gara-gara ini vani dan bian jadi bertengkar imbas baliknya adalah hubungannya dan bian semakin renggang.

Zea, memandang cincin yang tersemat di jari manisnya, semenjak bian memasangkannya tak pernah sekali pun zea melepasnya.

Dari pada menunggu bian dari sini, lebih baik di keluar dan mencari taxi diluar, meskipun ia sempat ragu apakah jam segini masih ada taxi atau tidak, hari sudah hampir tengah malam.

Sekitar 20 menit menunggu, tak ada satupun taksi yang lewat, terpaksa zea memutar otak untuk menggunakan aplikasi online, tapi sial sungguh sial ponselnya tiba-tiba lowbat, ingin berbalik ke dalam hotel, tapi hotelnya sudah tutup, memang hotel ini bukan hotel yang buka 24 jam.

Tempat ia berdiri sungguh sepi, membuat ia ingin menangis saja, andai saja akan seperti ini lebih baik ia menerima tumpangan dari vivian.

Zea, memilih untuk berjalan, siapa tahu nanti ada orang baik yang mau menolongnya, malam semakin dingin, dinginnya sudah sampai ketulang bahkan beberapa kali gadis itu sudah bersin.

Sudah jauh berjalan, perasaan Zea semakin tidak enak, rasanya ada seseorang yang mengikutinya di belakang, cepat saja gadis itu berjalan bahkan kini ia sudah berlari sesekali menoleh kebelakang, dan benar saja seorang pria yang memakai topi juga ikut berlari mengejarnya.

Debaran jantung Zea yang semakin cepat, membuat gadis itu terpaksa masuk ke dalam sebuah gang, dan bersembunyi di belakang  drum sampah, rasa takut yang menjalar membuat gadis mengabaikan bau sampah yang sungguh menyengat hidungnya.

Derap bunyi langkah yang semakin mendekat dan bayangan yang semakin jelas menuju ke arahnya, membuat wajah gadis itu bersimbah keringat.

Asistensi gadis itu, teralih kala seekor tikus merayap di atas kakinya, ia begitu jijik dengan binatang ini, cepat saja tanpa sadar gadis itu berteriak keluar dari persembunyiannya dan malah menabrak seseorang yang membuat Zea tersadar dari kebodohannya.

Ingin lari tapi  sudah jalan bantu, sedangkan pria itu menghadang di belakangnya, wajah yang ditutup masker membuat Zea tak bisa melihat wajah orang itu dengan jelas.

"Tolong. Tolong jangan bunuh aku, biarkan aku pergi. Jika paman butuh uang aku akan memberikannya"

Zea menyodorkan dompetnya, melihat tidak ada reaksi dari laki-laki itu, Zea juga menyodorkan ponselnya.

"Paman ambil saja barang-barangku, tapi tolong lepaskan aku, kalau kurang nanti aku akan mengirim uang tambahan, tapi tolong biarkan aku pergi," Suara gadis itu sudah parau karena ketakutan.

Belum sempat pria itu mendekat, sebuah pukulan keras menghantam kepala pria itu dari belakang yang seketika pria itu langsung roboh tak sadarkan diri.

"Zea!!!" Teriak orang yang baru datang langsung berlari je arah Zea yang sudah meringkuk karena menangis.

"" Zea," Kali ini suara itu begitu lembut, dengan hati-hati ia menyentuh bahu gadis itu yang sudah gemetar.

"JANGAN SENTUH AKU!!! " teriak gadis itu menghadang tangan yang menyentuhnya.

"Zea, ini aku Nathan."

Gadis itu terdiam sesaat tiba-tiba tenang, ia mengangkat wajahnya, melihat sosok yang ada di depannya.

"Kak Nathan?" Cicit gadis itu memastikan.

"Iya, ini aku," Ulang Nathan. Cepat saja Zea memeluk laki-laki itu dan langsung menangis sejadi-jadinya.

ANOTHER SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang