JOYCE terlihat lebih pucat dan lemah. Meski begitu, dialah yang memasak semua makanan yang kumakan.
"Ini enak sekali, Joyce." Aku berkata setelah melahap sepotong dada ayam yang disiram mentega dan parsley.
Wanita itu membereskan piring kami yang sudah kosong.
"Aku senang bisa memasak untuk orang lain. David tidak tinggal di sini sekarang," katanya. Terdapat kesedihan dalam suaranya.
Aku beranjak dari kursiku dengan terburu-buru sehingga menimbulkan decit di lantai.
"Mengapa?" tanyaku penuh penasaran. Aku mengikutinya ke wastafel ketika dia mulai mencuci piring.
"Kami... memiliki sedikit perbedaan pandangan." Dia menoleh ke arahku, memaksakan seulas senyum rapuh. "Sudahlah, kamu tidak perlu tahu tentang ini."
Aku kembali ke asramaku dengan sekotak mac and cheese yang dibuat Joyce untuk menemaniku mengerjakan tugas matematika aljabar. Meski sebenarnya aku tahu ke perut mana makanan ini akan pergi.
Sebuah pesan masuk dari Joyce.
Max, terima kasih sudah mau mengunjungiku tiap malam. Kamu harus datang lagi besok. Aku akan memasak steak. Semoga kamu suka mac and cheese-nya... Dan tolong, bisakah kamu sembunyikan apa yang kita bicarakan tadi? Sayang. Joyce.
Pintu kamarku terkunci. Aku menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan pantai aman. Lorong sepi karena cewek-cewek sudah masuk ke kamar masing-masing untuk tidur atau mengerjakan PR. Aku memutar kunciku dan mendorong pintu.
Nathan duduk di meja belajar sedang mengutak atik sesuatu. Aku masuk lalu menutup pintunya.
Dia menolehku. Senyuman langka menghiasi wajahnya. Ternyata dia sedang mengutak-atik kameranya.
"Apakah ada gambar baru?" Aku bertanya.
Dia menyodorkan kamera monokromnya yang seharga 6000 dolar. Bajingan.
"Aku memoto ini dari jendela asrama," katanya menunjukkan Samuel yang sedang mengubur sesuatu di tanah di depan Tobanga. Gambarnya hitam putih dan sangat lembut di retina. Fokusnya tertuju pada punggung Samuel. Sebuah tangkai pohon di ujung Tobanga membingkai sudut yang pas.
"Sial. Ini tembakan yang keren, Nathan."
"Huh? Seperti kamu tahu saja tentang teknik fotografi monokrom," hinanya.
Aku tertawa getir. "Benar. Kamu yang paling tahu segalanya, kan? Aku hanya pixie hipster kampungan." Aku berjalan menjauhinya, meletakkan tasku di sofa lalu mengeluarkan makanan untuknya di atas meja belajar.
Nathan memandangi kotak makanannya. "Terima kasih."
Aku menoleh ke arahnya terkejut. "Aku tidak salah dengar? Kamu bilang terima kasih?"
"Whatthefuckever." Dia membuka kotak makanannya. Aroma gurih keju menguar di ruanganku yang kecil. "Beli di mana?"
Aku menjilat bibir bawahku. "Umm, di restoran? Bisakah kamu bergeser? Aku harus mengerjakan PR."
"Kamu bilang kita akan menonton film! Dan tidak ada yang bisa memberitahu apa yang harus kulakukan!" Tatapan matanya tajam. Kupikir aku mulai terbiasa dengan itu.
Aku hanya menghela napas panjang. "Ya, tapi biarkan aku mengerjakan kewajibanku dulu. Tolong?"
Nathan turun dari kursiku lalu menuju sofa sambil membawa makanannya. Dia melahapnya sementara aku berjibaku dengan aljabar. Sial. Otakku seperti digoreng. Aku baru sampai nomor lima dari dua puluh soal esai.
Wangi cologne-nya sampai sebelum suaranya.
"Kamu bodoh atau apa? Bukan seperti itu caranya."
Aku terkesiap. Dadanya menempel bagian belakang sandaran kursiku, menekan dadaku ke meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Storm (Life is Strange)
Teen FictionMax Caulfield harus mengatasi traumanya sendiri setelah mengorbankan sahabatnya, Chloe-dan memutuskan untuk membantu Nathan Prescott-tanpa mengetahui bahwa bencana yang lebih besar akan segera mengancam kehidupannya dan kotanya. 🔞⚠️ DARAH, TEMA SE...