JIKA benar ini hanyalah salah satu semesta alternatif lainnya, maka ini adalah yang paling aneh yang kujalani. Karena aku merasa bukan hanya tubuh dan pikiranku saja yang berubah, tetapi juga perasaanku.
Aku meringkuk di kasur memeluk Captain menghadap dinding peringatanku dalam pelukan Nathan Prescott.
Nathan sudah lebih dulu bangun, tapi diam saja di belakangku. Lengannya memeluk perutku dan itu nyaman.
"Mengapa namanya Captain?" bisiknya di balik bahuku.
Aku mengelus boneka beruang kecil bermata satu yang ada di pelukanku.
"Dulu aku dan Chloe... kami adalah bajak laut... kami butuh Captain."
Tawanya menggelitik bahuku. "Lalu kenapa matanya satu? Sial... Kamu sengaja mencopotnya ya? Kejam sekali."
"Tidak." Aku membalikkan tubuhku sambil menunjukkan Captain padanya. "Saat aku kecil, aku tidak sengaja menelan matanya hingga orang tuaku harus melarikanku ke IGD. Sejak itulah aku tahu kami terikat seumur hidup."
Dia tersenyum manis. Senyumnya membuatku terpaku menatapnya. Wowser, harus kuakui gen Prescott tidak pernah bohong. Itu memiliki semacam pesona gelap, karisma yang luar biasa yang mampu membuatmu terjerat. Meski baru bangun tidur, dia tetap imut. Wajahnya pucat dengan rambut cokelat terang. Masih ada lingkaran hitam di bawah matanya, tetapi bola matanya tidak terlalu merah lagi... mungkin karena dia sudah berhenti mengonsumsi narkoba.
"Tunggu sebentar." Dia beranjak meraih kameranya di atas meja belajar lalu membidikku dan Captain.
"Apa-apaan?" Aku memprotes.
"Ini bagus sekali." Dia terus menekan tombol shutter sambil menyeringai.
Aku mengangkat tubuhku berusaha meraih kameranya, tetapi dia menghalangiku.
"Oh, kamu mengacaukan tembakanku!" Dia tertawa. "Berbaringlah lagi!" Nathan mendorongku hingga aku terjatuh ke kasur lagi.
Aku menyelipkan tanganku di balik bantal untuk mengambil senjataku juga. Sebelum dia menyadarinya, cahaya kamera menyerangnya lebih cepat membuatnya terperangah.
"Kena!" Aku tertawa di balik kamera polaroidku.
Hasilnya keluar, tetapi masih hitam.
"Berikan itu padaku!" Nathan mengejar tanganku yang melambai di udara.
Tanganku menarik tali kameranya sehingga dia ikut terjatuh ke kasur. Lalu dia berguling dan berada di atasku. Lensa kamera berada tepat di depan wajahku, tetapi bukan itu yang membuatku gugup.
Perlahan senyuman Nathan memudar, dia menurunkan kameranya. Mata kami saling terkunci.
"Oh, sialan... Mata rusa itu," bisiknya. Suaranya rendah dan dalam.
Keberanian menumpuk dalam darahku. Tanganku mencengkram kaus hitamnya. Sementara jarinya mengelus daguku dan menarik wajahku mendekatinya.
"Bolehkah aku melihat fotoku?" Aku bertanya.
Dia menyodorkan jarinya di bibirku. "Jika kamu memohon."
Jari telunjuknya meraba bibir bawahku. Aku mengecupnya berkali-kali sehingga itu akhirnya masuk ke dalam mulutku. Apakah ini yang dilakukan orang lain? Aku hanya ingin merasakannya. Aku mengulumnya dan memberikan gigitan-gigitan kecil di tulang jarinya yang kurus.
"Aku mohon," pintaku. Aku menggenggam tangannya yang ada di daguku lalu mengulum dua jarinya seperti mengemut permen. "Tolong?"
Nathan mengerang sambil menatapku bulat menikmati sensasi jarinya yang berada di dalam mulutku.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Storm (Life is Strange)
Teen FictionMax Caulfield harus mengatasi traumanya sendiri setelah mengorbankan sahabatnya, Chloe-dan memutuskan untuk membantu Nathan Prescott-tanpa mengetahui bahwa bencana yang lebih besar akan segera mengancam kehidupannya dan kotanya. 🔞⚠️ DARAH, TEMA SE...