"BAWA dia."
Itu cepat sekali hingga aku tidak sadar ketika petugas Berry menarik lengan Nathan, membuatku jatuh terjerembab ke lantai dan tubuh Nathan meronta-ronta.
"Tidak! Jangan!" Aku berteriak merangkak ketika dua pria itu menyeret Nathan keluar dari kamarku.
Lorong asrama seperti dunia lain, terutama di bawah beberapa pasang mata yang kaget melihat 'drama' di pagi hari. Brooke masih memakai piyama sambil bermain ponsel, Dana dan Juliet langsung keluar dari kamarnya. Semua mata melihatku yang berlari mencoba menggapai Nathan dengan putus asa.
"Berengsek! Lepaskan!" Nathan tak kalah depresinya berusaha melawan.
Kami menemukan celah di sisi lengan David sehingga tubuh kurus Nathan bisa menyelinap keluar sebelum petugas Berry memborgolnya. Dia menarik tanganku dan kami keluar dari asrama.
Hawa dingin asrama menyerbu kulitku ketika kami berlari. Samuel sudah tidak ada di halaman. Bukan tidak mungkin dia yang melaporkan Nathan.
Mobilnya terletak di sebelah utara kampus, tidak terlalu jauh.
Dia membanting pintu, tidak repot-repot memasangkan sabuk pengaman dan malah langsung menyalakan mesin. SUV Nathan berderit meninggalkan Blackwell.
"Ke mana kita harus pergi?"
Tangannya terangkat untuk mengarahkan kaca depan ke belakang. Sirene mobil polisi terdengar mengejar kami seperti buronan.
"Ke mana pun tempat sialan yang jauh," ludahnya.
Wajahnya kaku, seperti beberapa jam yang lalu ketika dia menggumamkan nama Rachel.
"Ayahku akan mendapatkanku dan dia pasti akan mencelakaimu!" Dia menolehku sekilas. "Aku tidak akan membiarkan itu!"
"Kita harus bersembunyi."
"Kita harus meninggalkan Arcadia."
Aku tersentak. "Jangan lakukan itu."
"Persetan!"
"Tidak. Kamu tidak akan pergi ke mana pun selain ke Seattle bersamaku!"
Nathan membanting stirnya berbelok ke arah jalan Two Whales Diner. Mobil polisi masih mengikuti di belakang kami. Tepat sekitar sepuluh meter di depan, terdapat truk merah yang mengangkut batang pohon, Nathan menyalip truk itu yang dibalas klakson keras dari truk. Aku berpegangan pada dashboard dan menutup mataku. Jantungku berdegup-degup keras. Pada titik ini, jika aku mati, segalanya tidak ada artinya lagi.
"Kita harus—kita harus menemukan tempat!" Aku berteriak padanya.
Jarinya bergetar di kemudi seraya jarum spedometer yang terus naik.
"Nathan!"
Dia memutar stirnya berbelok menuju hutan. Suara sirene mulai samar terdengar, namun mobilnya menabrak semak-semak ranting pohon dan kami sangat jauh dari jalan.
Roda mobil bergerak tidak stabil. Itu bocor di sisi kanan.
"Sialan!"
"Menepilah!" Aku memohon.
Mobil kami keluar dari semak belukar hutan dan disambut oleh langit biru cerah dan air laut asin.
"Tidak ada jalan lain!"
Dia menepi, menghentikan mobilnya ketika rodanya menyentuh pasir pantai. Kami keluar dari mobil dan dia menarik tanganku untuk berlari menyusuri jalan setapak menuju mercusuar.
Aku hampir kehabisan napasku dan mulai merasakan de javu di dalam kepalaku. Kami sampai di depan mercusuar yang pintunya sudah tidak terkunci lagi karena aku merusaknya. Kaki kami tersandung menaiki tangga untuk menuju puncak.
KAMU SEDANG MEMBACA
After The Storm (Life is Strange)
Teen FictionMax Caulfield harus mengatasi traumanya sendiri setelah mengorbankan sahabatnya, Chloe-dan memutuskan untuk membantu Nathan Prescott-tanpa mengetahui bahwa bencana yang lebih besar akan segera mengancam kehidupannya dan kotanya. 🔞⚠️ DARAH, TEMA SE...