Bab 4 - Rasa yang Masih Ada

102 18 2
                                    


HUJAN belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Aku masih terjebak di teras minimarket bersama beberapa orang yang menumpang untuk berteduh. Jarum jam di tanganku sudah menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. Aku berharap Ibu tidak mencemaskanku.

Rumahku berjarak sejauh lima ratus meter dari minimarket itu berada. Tentu saja beberapa blok ke belakang mengingat minimarket itu berada tepat di barisan depan kompleks perumahanku yang terpisah oleh gerbang pos jaga.

Jika aku nekat menerobos hujan dengan berjalan atau berlari, aku tetap akan basah kuyup saat tiba di rumah. Badanku sudah cukup lemah karena aku kelaparan. Kalau aku sampai mandi hujan, bisa-bisa aku kena demam.

Berkali-kali aku meniupkan napasku di kedua telapak tangan dan menggosokkannya perlahan pada lenganku untuk mengusir rasa dingin. Setelan piama katun bergambar Doraemon yang kupakai sama sekali tidak sanggup menghalau dinginnya angin yang menyertai hujan.

Perutku mulai terasa perih, aku lapar. Tadinya aku datang ke minimarket untuk membeli beberapa bungkus mi instan dan segera pulang untuk memasaknya. Lupakan saja agenda dan jadwal diet ketat dari Mbak Asma. Rasanya sudah berkali-kali aku merasa hampir mati kelaparan karenanya. Tetapi siapa yang menyangka jika aku akan terjebak hujan dan bertemu dengan Adam di tempat ini.

"Nih, pakai aja sweeternya. Kamu lebih butuh kayaknya." Adam mengangsurkan sweeter berwarna biru navy di tangannya. Aku menggeleng pelan.

"Keras kepala!" Tanpa menunggu persetujuanku lagi, Adam memakaikan sweater itu padaku dan terpaksa aku segera memakainya sebelum orang-orang melihat ke arah kami berdua.

Tidak terlalu sempit, meski ukuran tubuhku bisa dibilang besar, tetapi sweeter oversized ukuran laki-laki tentu saja masih muat untuk kupakai.

"Makasih," lirihku tanpa menatap Adam. Canggung. Ada dingin yang menjeda di antara kami berdua.

"Ndut, kok kamu pucet banget, sih? Telat makan lagi, ya? Jam berapa ini? Kamu seriusan belum makan? Atau jangan-jangan kamu mulai mikir buat diet?" Adam tiba-tiba mendekap wajahku dengan kedua tangannya, menelisik wajahku yang saat ini hanya berjarak dua jengkal saja dari wajahnya sendiri.

Aku terkesiap dengan perlakuan Adam. Hampir saja ingatanku kembali berkelana ke masa lalu. Degup jantungku mulai tidak beraturan. Aku mengerjap beberapa kali sebelum melepaskan tangannya dan mundur beberapa langkah.

"A-Aku enggak apa-apa, kok." Kurasakan pipiku memanas. Antara debar atau gemetar, keduanya berhasil membuat perutku semakin mulas dan lututku lemas.

Ya Tuhan! Apa kata orang-orang kalau mereka melihat kelakuan kami barusan? Jantungku kembali berdegup tak karuan. Aku bingung dengan perasaanku sendiri, kenapa aku harus salah tingkah jika berada di dekat Adam. Seharusnya aku marah, bukan? Aku pernah dikecewakan sebelumnya, tidak seharusnya aku memiliki rasa yang istimewa, kan? Apa aku memang terlalu munafik untuk mengakui jika sebenarnya aku masih sayang?

"Yaelah, Ndut. Takut banget, sih. Saya enggak bakal nyipok kamu juga kali. Enggak di sini maksudnya." Adam mengedipkan sebelah matanya dengan senyuman khas menghiasi wajahnya.

Aku memelotot menatap Adam dan refleks memelintir sebagian daging yang berada di pinggangnya.

"Adaaawww, Ndut!" Adam berkelit dan meremas tempat bekas cubitan mautku mendarat. Dia menatapku dengan tatapan nanar dan juga bibir yang meringis pertanda kesakitan.

Tatapan orang-orang yang juga berada di teras minimarket itu seketika tertuju pada kami berdua.

Mampus.

***

Aku dan Adam berjalan beriringan tanpa suara, juga tanpa adegan bergandengan tangan seperti yang dulu selalu kami lakukan saat masih menjadi sepasang kekasih. Hening memberi jarak, seolah-olah kami sibuk dengan isi kepala masing-masing.

Adam bersikeras untuk tetap mengantarku pulang meski berkali-kali aku bilang tidak perlu. Adam justru lebih memilih meninggalkan motornya di halaman minimarket demi menghabiskan sedikit waktu untuk berjalan bersamaku.

Laki-laki aneh, seharusnya dia menawarkan untuk mengantarku dengan motornya, bukan?

Untung saja malam ini Pak Bambang tidak sedang berjaga di posnya. Kalau tidak, bisa habis aku diledeknya. Entah bagaimana ceritanya, kabar aku yang putus hubungan dengan Adam bisa sampai telinga Pak Bambang. Satu-satunya tersangka yang kupunya hanyalah Bapak.

"Awas, Ndut!"

Adam menarik lenganku dan mendekapku ke sisi jalan saat ada sebuah mobil yang melintas dan membuat cipratan air hujan yang menggenang. Aku terkesiap dalam pelukan Adam. Sekali lagi jantungku seolah dipermainkan oleh keadaan.

Ya Tuhan! Lihat betapa lemahnya aku. Dalam hitungan jam sejak bertemu Adam di minimarket tadi, rasanya aku mulai terbiasa kembali berada dalam pelukan lelaki pemilik lesung pipit itu.

"L-Lepasin. Mobilnya udah pergi."

"Oh, iya, sorry." Adam mengurai pelukannya dan menepuk pelan bagian bawah sweeter yang kupakai. "Yah, basah. Jadi kotor, deh."

"Tenang, aja. Nanti aku cuciin, besok kalo sudah kering pasti bakal aku balikin." Aku memalingkan wajah ke arah lain dan mempercepat langkah agar segera sampai rumah.

"Santai aja, Ndut. Nggak usah dibalikin juga enggak apa-apa, kok. Kamu kan tahu kalau koleksi sweeter saya banyak."

Ucapan Adam terdengar beradu dengan napasnya, barangkali dia sedang mencoba menyejajarkan langkahnya untuk mengejarku. Jangan tanya bagaimana napasku sendiri. Tentu saja aku harus bersusah payah melangkah dengan cepat, apalagi dengan bobot tubuh yang lebih dari sekedar berat.

"Aku masuk dulu, ya? Makasih banyak udah minjemin sweeter dan nganter aku pulang." Tiba-tiba saja aku merasa kikuk di hadapan Adam dan bingung harus mengatakan apa lagi, "Buruan pulang, gih. Udah malem."

"Kamu ngusir saya, Ndut?" lirih Adam. Dia menatapku lekat dan itu membuatku kembali salah tingkah.

"Eng-gak gitu maksudnya. A-tau kamu mau mampir dulu?" tanyaku tiba-tiba.

Bodoh! Apa yang kamu pikirkan, Astuti. Hari sudah malam dan dia itu mantan, MANTAN!

"Enggak usah deh, makasih. Kamu istirahat, ya? Makan yang banyak dan jangan sampai sakit. Saya balik dulu." Adam tersenyum dan mengacak pucuk rambutku perlahan sebelum berbalik dan melangkah menjauh.

Hei! Tangannya! Lancang sekali. Apa yang baru saja dia lakukan? Berani-beraninya dia mengacak rambutku? Sesantai itu juga dia meninggalkan senyuman? Dia pikir aku ini siapa? Dia pikir dia itu siapa?

Aku mematung menatap punggung Adam yang mulai menjauh. Ada perasaan aneh yang muncul dan menghangat di ujung hati. Parahnya aku mulai tersenyum sendiri. Tuhan! Ada apa denganku hari ini?

Tiba-tiba saja lelaki berlesung pipit itu berbalik dan berteriak, " Astuti! Ai Lope Yu Pull, Ndut!"

Astaga!

***

Astaga! Enggak habis-habisnya si Adam nge-trick Astuti, kesian, kan, Astuti jadi baper ...

Kamu ikutan baper, gak? Kalau iya, jangan lupa bintangin cerita ini dan nantikan terus update-annya, yak! Terima kasih!

Ndut, Balikan, Yuk! by Annie FM.Donde viven las historias. Descúbrelo ahora