Bab 7 - (Bukan) Angka Keberuntungan?

73 16 4
                                    


Pasar adalah tempat bertemunya para penjual dan pembeli. Tempat di mana kerumunan lumrah terjadi dan merupakan tempat yang memungkinkan untuk siapa pun saling bertemu secara tak sengaja. Anggap saja ada perbedaan setipis sarang laba-laba antara sebuah kebetulan dan sesuatu yang bernama takdir.

"Ibu masuk saja dulu, biar Tuti cari tempat parkir."

Tanpa banyak bicara lagi, Ibu bergegas turun dari boncengan dan segera melesat ke dalam lautan manusia. Aku mendesah pelan mengikuti arahan Abang Parkir.

"Motornya taruh di situ saja, Mbak. Jangan dikunci ya. Nanti biar saya bantu rapikan."

"Makasih banyak ya, Bang. Kebetulan motor saya berat banget."

"Motornya apa orangnya, nih, yang berat?" Si Abang parkir mengulum senyum. Ucapannya terdengar sedikit meledek, tetapi aku tidak bisa marah karena kadung terpesona dengan wajahnya yang cukup manis.

Kalian ingat wajah Bang Duta? Iya, dengan kulit berwarna sawo matang dan rambut yang sedikit panjang bertopi, Abang Parkir itu sepintas sangat mirip dengan Duta Sheila On Seven.

Astaga, Tuti! Sadar. Barusan itu Abang-abang parkir lagi nge-body shaming kamu, loh!

Abang Parkir memberikan sebuah kartu yang bertuliskan nomor 27 kepadaku setelah sebelumnya menggantungkan nomor yang sama di salah satu setiang motor. Aku menerimanya dengan senyuman yang mengembang.

"Angka cantik." Aku menggumam pelan.

"Mbaknya juga cantik, kok. Coba kasih diskon dikit saja berat badannya pasti banyak cowok yang ngantri. Termasuk saya." Si Abang parkir kembali bersuara.

"Yee ... Abang pikir diet itu gampang? Taruhannya nyawa, Bang! Kalau saya sampai mati kelaparan gimana?"

Entah setan pasar sebelah mana yang merasukiku hingga bisa-bisanya aku yang kalem dan pemalu ini mendadak jadi beringas pada orang asing.

"Lagi pula, ukuran cantik itu bukan cuma badan kurus sama rambut lurus doang! Kuntilanak tuh contohnya, rambutnya lurus, badannya kurus, sampai bisa melayang ke mana-mana. Tapi enggak ada tuh yang bilang dia cantik. Langsung kabur malah kalau ketemu. Lagian, percuma juga punya badan bagus, kalau hatinya enggak baik, akhlaknya enggak baik. Toh kalau nanti meninggal juga sama-sama jadi tanah. Hih!" Aku menceramahinya panjang kali lebar.

Rasanya semua tekanan batin yang selama ini kupendam dan tak sanggup aku keluarkan di hadapan Mbak Asma kini telah menemukan korbannya. Siapa suruh body shaming pada cewek yang lagi menstruasi. Kena dah tuh, Abang parkir!

"Ya, tapi, Mbak, jujur saja saya sebagai laki-laki normal pastinya milih cewek yang selain baik hatinya kalau bisa ya sekalian cantik dan bodinya aduhai juga. Hati kan enggak bisa dilihat dengan sekali pandang. Ya, dong?"

Lempeng sekali muka Abang parkir mengatakan hal seperti itu. Meskipun kata-katanya nyaris seratus persen benar, tetapi mana bisa aku diam saja?

"Emangnya saya kurang aduhai? Badan saya ini aduhai, bohai, melambai. Lagi pula enggak semua laki-laki mandang fisik kok. Buktinya pacar saya enggak!"

Hai, Tut? Pacar yang mana? Adam? Mantan, kali. MANTAN!

Aku memutar bola mataku, "Udah ah, tugas Abang Parkir itu jagain motor orang. Awas aja, ya, jangan sampai Tuti kelepasan nyumpahin kalau Abangnya juga cuma bisa jagain jodoh orang."

"Eh, Mbak-"

"Bodo."

Aku bergegas melangkah meninggalkan Abang Parkir. Gila. Tenaga sarapan dua piring nasi plus tumis pare tadi pagi menguap sia-sia gara-gara meladeni ucapan Abang parkir.

Ndut, Balikan, Yuk! by Annie FM.Where stories live. Discover now