Bab 6 - Tumis Pare dan Cokelat

93 12 0
                                    


Holaaa! Siapa yang nungguin cerita Astuti? Nah, silakan nikmati kelanjutan kisahnya di bawah ini. Jangan lupa, kasih bintang lima, yak! Terima kasih!

***

"ASTUTI ... Bangun! Buruan salat subuh. Habis itu bantu Ibu!"

Serpihan nyawaku yang terserak dibuai mimpi seketika berkumpul dan membentuk barisan yang membuatku menangkap kesadaran paripurna. Jantungku berdetak kencang ketika mendengar gedoran di pintu kamar. Astaghfirullah, Ibu. Kalem sedikit dong, kalau bangunin anak perawan.

"Tuti lagi halangan, Ibu. Iya, ini bangun ..." sahutku dengan suara parau.

Semangkuk mi kuah dingin mengembang dengan potongan sawi dan ekstra rawit yang kumakan semalam rupanya memberikan efek berlebihan pada tenggorokanku. Masa iya aku kualat sama makanan?

Aku beringsut dari kasur dan sibuk mencari ponselku. Begitu benda pipih itu kutemukan, segera kuusap layarnya yang menunjukkan pukul empat pagi lebih dua puluh lima menit.

Tumben ponsel sepi.

Aku menepuk jidatku sendiri saat mengingat jika ponselku masih berada dalam mode pesawat, karena menghindari telepon dari Adam semalam. Segera kugulir layar ponsel dengan jempol yang sudah terlatih dan mengaktifkan mode normal. Beberapa detik kemudian, banyak notifikasi pesan masuk saling bersahutan.

Aku mengerutkan kening ketika membaca notifikasi sepuluh panggilan tak terjawab dari Adam dan juga deretan pesan whatsapp darinya. Satu persatu pesan dari Adam kubaca dengan seksama.

"Ndut?"

"Astutiiii?"

"Angkat dong, teleponnya?"

"Ndut, tadi saya sengaja ninggalin coklat di pagar depan rumah kamu. Ambil, ya? Jangan pernah mikir diet segala. Kamu tuh makin berisi makin menggemaskan."

"Kamu tahu, kan, kalau saya sayang sama kamu?"

"Astutiiiiii ...."

Aku mencebik membaca deretan pesannya. Menggemaskan dia bilang? Memangnya aku ini squisy yang bisa seenaknya dia remas-remas apa?

Setelah merapikan semua pasukan bantal, guling dan juga selimut, aku bergegas keluar dari kamar. Begitu membuka pintu, indra penciumanku langsung disambut oleh wangi khas aroma tumis pare. Perutku yang seringnya tak tahu malu ini langsung menunjukkan reaksinya. Air liurku bahkan ikut meleleh begitu menghidu aroma pedas gurih yang menguar ke mana-mana. Aku celingukan mencari Ibu di dapur. Aku terkejut mendapati Ibu tidak berada di tempat yang seharusnya. Rupanya wajan berisi tumisan pare itu ditinggal sendirian di atas kompor yang masih menyala.

Wah, bahaya ini. Ke mana Ibu? Refleks aku memutar pengatur gas pada kompor untuk mengecilkan ukuran api.

Saat aku berbalik, seketika jantungku nyaris melorot saat melihat pintu kamar mandi tiba-tiba terbuka dan Ibu muncul dari sana dengan kostum daster oversize putihnya. Allahu ....

"Ibu! Ngagetin aja, ih."

Aku tahu badanku memang besar, tetapi nyaliku pada makhluk astral tidak sebesar lingkar perutku sendiri. Aku penakut. Aku tahu itu. Aku mengusap kasar wajahku sendiri. Ibu hanya tersenyum tipis dan melenggang dengan santai untuk kembali meneruskan agenda memasaknya. Aku beringsut menepi. Meninggalkan kompor yang kembali berada dalam kendali tuannya.

Ah, iya, aku lupa ada sebungkus cokelat yang menungguku di pagar depan. Semoga enggak keduluan sama Siti—Si Tikus nakal.

***

Ndut, Balikan, Yuk! by Annie FM.Where stories live. Discover now