Bab 5 - Buka Blokir, Buka Hati?

93 17 0
                                    


Heyho, Gengs! 

Penyuka Ndut ayok isi presensi dulu, jangan lupa dipencet bintangnya biar si Otor semangat untuk terus menulis dan update ceritanya.

Sudah baca tapi enggak kasih bintang ... ah, ter-la-lu! T_T

***

AKU menggigit bibir bawahku sendiri dan mengulum senyum demi melihat tingkah Adam. Kurasakan pipiku kembali memanas, aku menggelengkan kepala berkali-kali sebelum membuka pagar setinggi satu meter berwarna biru yang membatasi rumahku dengan jalanan. Ah, laki-laki itu memang aneh. Atau barangkali justru akulah yang jauh lebih aneh?

Ayolah, Astuti. Jaga kewarasanmu!

Aku mengucapkan salam setelah membuka pintu depan. Sebuah kebiasaan kecil yang selalu kulakukan setiap masuk ke rumah. Tidak ada jawaban. Ke mana perginya Ibu? Lampu ruang tamu masih menyala meski jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tumben, pintu depan juga dibiarkan tidak terkunci. Aku memutuskan untuk mengunci pintu dan mematikan lampu sebelum menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Pertanyaanku terjawab saat langkah kakiku sampai di ruang tengah dan menemukan Ibu yang tertidur pulas di atas sofa dan sedang ditonton oleh televisi.

"Bu, pindah ke kamar. Di sini banyak nyamuk." Aku mengusap pelan pundak Ibu berharap tidak akan terlalu mengejutkannya.

"Tu-ti?" Ibu mengerjap, "Kamu dari mana saja, jam berapa ini?"

"Cuma dari minimarket, kok. Tadi hujan deres, Tuti lupa enggak bawa payung. Bapak enggak pulang ya, Bu?"

"Oh, ya sudah. Bapakmu ada urusan di kantornya. Kayaknya enggak pulang. Sudah pamit sama Ibu tadi pagi." Ibu menggelung asal rambutnya dan mengikatnya dengan pita kain. "Pintu depan tolong dikunci, TV-nya matiin. Ibu mau pindah ke kamar dulu." Ibu bangkit dari sofa dan dengan langkah gontai akhirnya masuk ke kamarnya.

Aku celingukan mencari benda berbentuk persegi panjang dengan barisan tombol angka yang berjajar di sepanjang permukaannya itu. Ketemu. Rupanya remote teve itu jatuh dan bersembunyi di bawah kolong sofa. Kumatikan benda elektronik berlayar datar itu dan bergegas menuju dapur. Perutku sudah tak sabar meminta jatahnya.

Maaf, Mbak Asma. Untuk malam ini saja, biarkan aku menikmati semangkuk surga bernama mi kuah. Boleh, ya, aku membubuhkan tanda silang di kalender dietku malam ini?

Mi kuah campur sawi, telur, dan juga irisan cabai rawit sudah melambaikan tangannya memintaku untuk segera menikmatinya. Aku bergegas membersihkan diri, dan saat itulah aku baru menyadari bahwa aku masih memakai sweater milik Adam. Tiba-tiba saja wajah Adam memenuhi kepalaku. Suaranya, senyumnya, perhatiannya, juga caranya menatapku masih sama seperti yang dulu.

Aku menimang ponsel di tangan. Menimbang dengan ragu, haruskah aku menghubungi Adam untuk sekedar berterima kasih atau tidak.

Duh, chat duluan jangan, ya? Kira-kira dia bakal mikir apa kalau aku hubungi duluan? Pantas enggak kalau aku kirim pesan malam-malam begini? Ish, abaikan saja gimana? Anggap saja pertemuan malam ini enggak pernah terjadi? Tapi, apa salahnya mengucapkan terima kasih? Hanya sebatas itu, kan? Apa yang salah? Aduh aku harus apa?

Berbagai pertanyaan berseliweran di kepalaku. Kadang aku benci dengan ramainya kepalaku sendiri.

Malam ini, setelah menghitung jumlah cicak yang menempel di dinding, akhirnya aku memutuskan untuk kembali membuka status blokir yang selama seratus hari sudah kusematkan pada nomor milik Adam. Semoga saja Adam belum mengganti nomor ponselnya.

Ndut, Balikan, Yuk! by Annie FM.Where stories live. Discover now