Chapter 2: Scarlets on Golem

41 9 42
                                    

Kegelapan sekitar tidak bertahan lama dan pecah menjadi bayangan samar dari area gumuk pasir yang berdenyut. Hanya gemerisik pasir yang terdengar gamang, seakan-akan tidak ada apapun yang bisa hidup di atasnya. Ketika kumpulan monster memasuki area tersebut, makhluk-makhluk buas itu terperosok ke dalam pasir seperti dilahap.

Sebelum Eylam dapat menganalisis apa yang terlihat, bayangan itu pudar lalu digantikan hijaunya sebuah oase yang dipenuhi dengan pohon-pohon berbuah ranum. Warna biru oase itu memberikan kesejukan yang nyaman. Namun, ketika memperhatikan kaktus-kaktus di tepi oase, pemuda itu merasa ada keresahan merayap ke dadanya.

Beberapa detik kemudian, bayangan lain menggantikan bayangan sebelumnya. Kini Eylam berdiri di sebuah tebing yang berhadapan dengan jurang tak berdasar. Alunan serangkai mantra sihir terdengar mendengung seraya memperdalam kemisteriusan sekitar. Mantra tersebut tidak bisa dipahami lelaki penyihir itu, tetapi menjajah pikirannya tanpa bisa dihalangi.

Kata demi kata dari mantra misterius seakan meresap ke diri Eylam dan memakan mana yang dia miliki. Setelah keseluruhan suara itu melekat di kepalanya, setengah mana di tubuhnya seakan menguap dan dia kembali ke kenyataan. Pandangannya berangsur-angsur semakin jelas. Dia melihat Misty Forest dan Sang Penjaga Kisi lagi. Bola sihir berwarna biru masih berpendar di tangannya.

Seakan tahu kalau penyihir muda ini sudah melihat apa yang seharusnya dilihat serta mengingat semua memori yang memasuki pikirannya, bola cahaya itu mengkerut lalu melingkari jari tengah siswa asrama Argine itu. Sesaat kemudian, sebuah cincin biru tua muncul menggantikan cahaya tadi. Rune rumit berwarna perak terukir di atasnya.

"Cincin itu hanya bisa kamu gunakan sekali. Sebaiknya kamu hanya menggunakannya setelah misimu berhasil," ucap Mr. Edmund mengakhiri pertemuan mereka.

***

Seorang laki-laki berperawakan ramping menguap lebar sambil memperhatikan kucing hitam yang duduk di atas meja. Mata kuningnya berfokus pada lonceng yang menggantung di telinga kiri kucing bermata zamrud itu. Lonceng aneh itu bergoyang tetapi tidak terdengar suara dentingan, pertanda kalau divination atau peramalan yang dilakukan gagal.

"Sudahlah, tidak perlu dicoba lagi. Biarpun hasil ramalanmu buruk, kita akan tetap pergi. Eylam tidak akan melewatkan kesempatan ini," gerutu pemuda itu sambil merapikan rambut cokelat pendeknya.

"Tuan Dykuma Sabbah, kita perlu tahu apa yang akan kita hadapi. Keselamatan kita taruhannya," balas kucing Seer tadi dongkol. "Lagipula, apa maksudmu kita akan pergi? Kita tidak tahu apakah Eylam bisa lolos atau tidak," tambahnya.

Dykuma memutar bola matanya malas. "Makanya jangan ketergantungan pada bakat Seer-mu. Kalau kamu paham apa yang bisa Eylam lakukan dan seberapa ngototnya dia kalau sudah menginginkan sesuatu, kamu pasti tahu kalau dia akan terpilih. Di dunia ini ada banyak orang yang tidak bisa diramal." Animagi Horned Viper itu menyandarkan punggungnya di kursi lalu mengabaikan rekan kucingnya.

Karena tidak dipedulikan, kucing tadi semakin jengkel. Dia melompat ke arah Dykuma dan berusaha mencakar wajah tampan yang terlihat meremehkannya. Emosinya mendidih setelah menggunakan divination tiga kali.

"Shervin!" bentak Dykuma. Tangannya menangkap dua kaki depan kucing peramal itu karena merasakan perih akibat goresan di pipinya.

Ketika mereka masih bergulat, pintu ruang baca terbuka dan seorang penyihir dengan rambut biru tua memasuki ruangan. "Kalian sedang apa?" tanyanya dengan suara rendah yang enak didengar.

"Lam, Dykuma menjahatiku," adu Shervin Badr sambil berlari ke arah Eylam. Setelah dekat, dia melompat ke tangan pemuda tinggi itu.

"Dia kena efek balik kekuatannya lalu membabi buta menyerangku," kata Dykuma membela diri.

Crimson Under SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang