Chapter 6. Fatamorgana

35 8 42
                                    

"Kolam darah?" gumam Eylam mengambang.

Anehnya, hasil penerawangan Shervin tidak terdengar menakutkan untuk penyihir itu. Dia merasa hatinya dingin tanpa getar emosi. Mendengar ramalan buruk tentang dirinya terasa jauh lebih mudah dibandingkan dengan mengingat bagaimana Dykuma meninggalkannya.

Setelah menghela napas lelah, pemuda itu bertanya sambil memandang lurus-lurus iris zamrud Shervin. "Misi ini mungkin lebih berbahaya daripada perkiraan kita. Apa kamu mau kembali ke Bridgeland?" tanyanya dengan suara rendah yang pengertian.

Pertanyaan itu membuat Shervin terdiam. Kucing itu mengerjap ragu kemudian menghindari tatapan mata safir Eylam. Tidak lama kemudian, animagi itu akhirnya merapatkan bibir lalu mengucapkan jawaban.

"Tidak. Kembali malah lebih buruk," jawabnya.

"Iya, itu benar. Kita sebenarnya tidak punya pilihan. Aku tidak mau pengorbanan Dyke tidak dihargai kalau kita menyerah dan dianggap pengecut. Yang dia inginkan adalah meninggalkan jejak kesuksesan yang bisa dibanggakan. Aku ingin memenuhinya." Eylam menepuk-nepuk kepala Shervin dengan lembut.

Bagi para siswa asrama Argine, mati dalam misi akan jauh lebih terhormat dibandingkan meninggalkan misi tersebut demi menyelamatkan diri. Orang-orang yang lahir di tengah kerasnya Summerburg itu terkenal kejam pada orang lain dan sebenarnya bersikap lebih kejam pada diri mereka. Oleh karenanya, Eylam tidak pernah berpikir untuk mundur meski menghadapi sesuatu yang mengerikan.

Terlebih lagi, tiga kartu yang harus dia dapatkan adalah kunci untuk menyelamatkan pohon Dewa Thoth yang layu. Jika dia terlambat atau gagal, pohon sakral itu akan mati sehingga perlindungan pohon tersebut atas Bridgeland akan lenyap. Kalau ini terjadi, Bridgeland akan hancur oleh ancaman para Joker.

Dengan pikiran tidak tergoyahkan, Eylam mengabaikan hasil penerawangan yang didengarnya. Gaung duka masih memenuhi hatinya tetapi dia berusaha membangkitkan niat untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan. Gambaran tubuh sahabatnya yang dicabik-cabik malah memberinya kemarahan yang dingin untuk menghadapi ancaman Death Desert berikutnya.

***

Setelah beberapa hari perjalanan, Eylam dan Shervin menemukan lokasi Cactus Pond. Anehnya, tempat itu tidak pernah bisa mereka jangkau dan menjauh setiap kali mereka mendekat. Di tengah membaranya udara gurun, panorama tempat itu terlihat seperti fatamorgana yang menipu.

"Oase sialan itu seperti hidup dan tidak mau kita masuki," gerutu Shervin. Yang membuatnya paling kesal adalah kontras dari sejuknya warna hijau Cactus Pond dengan panasnya gurun di bawah mereka. Tempat itu menggodanya dengan pohon-pohon yang berbuah ranum tetapi tidak bisa dikejar. Karena itu, rasa haus dan lelahnya menjadi berlipat-lipat lebih menyengsarakan.

"Kita istirahat dulu. Terlalu panas dan aku masih belum punya ide untuk menjangkau tempat itu," kata Eylam sambil melepaskan sihir elemen es dari salah satu Magic Chakranya. Udara dingin langsung menyelubungi Shervin sehingga kucing itu merasa segar. Namun, perasaan animaginya langsung tidak nyaman menerima perlakuan itu.

"Jangan membuang-buang sihir. Bukannya chakramu tinggal sedikit?" omel kucing animagi itu.

"Tidak apa-apa. Ini cuma sihir kecil. Yang penting kamu tidak kepanasan." Eylam melengkungkan senyum.

Shervin tidak banyak berkomentar lagi setelah melihat senyum itu. Sejak mendapatkan kartu Jack, perilaku Eylam jadi aneh. Jika sebelumnya dia memperlakukan kucing animaginya seperti ratu, sekarang dia menjadi lebih fanatik. Animagi itu merasa kalau temannya memujanya sebagai dewi.

Pemuda itu cemas jika Shervin tidak ada di area pandangannya. Dia juga semakin sering menggendong serta menyediakan semua kebutuhan animaginya sebelum diminta. Jika ada bahaya, penyihir itu tidak akan melibatkan Shervin dan menyelesaikan semuanya sendiri.

Crimson Under SunsetWhere stories live. Discover now