Hari Keempat

4.8K 468 80
                                    

Dunia Fantasi atau Dufan.

Bukan kah itu tempat terbaik untuk bonding?

Ya, ide perjalanan hari ini berasal dari Caka dan mana mungkin Mael tidak mengabulkannya.

Seingat Caka, terakhir kali ia pergi ke Dufan bersama kedua orangtuanya itu sekitar setahun yang lalu. Waktu itu sih Papah tidak banyak menaiki wahana, lelaki berkacamata itu cukup mengamati suami dan anaknya sembari menjaga barang bawaan mereka. Hanya Alin dan Caka saja yang menaiki wahana ekstrem, Mael biasanya baru bersedia ikut kalau naik wahana yang remeh temeh saja seperti Kora-Kora, Istana Boneka, Rumah Kaca, atau Bianglala.

Maka itu, kali ini Caka berencana untuk membuat Papahnya bersenang-senang semaksimal mungkin.

"Pah, ayo naik Halilintar!"

"Next, Tornado!"

"Ayo, kita guyur-guyuran di Arung Jeram!"

Sayang hari ini memang bertepatan dengan hari libur banyak orang, sehingga antrian yang begitu panjang membuat mereka berdua tidak sempat menikmati semua wahana.

"Yah, udah gelap lagi. Buat penutup, naik apa ya kita yang antrinya gak panjang?" toleh Caka ke arah Mael. Papahnya itu sudah menghabiskan tiga botol air mineral satu hari ini, wajahnya lesu tapi tetap mengikuti kemana pun Caka mengajaknya. "Papah, gapapa?"

"Gak apa-apa, kenapa?"

"Capek, enggak?"

"Seru kok, cuman ya umur gak bisa bohong hahaha." Mael menyeka peluhnya yang mengalir di kening. Saat itu pula matanya menangkap sebuah wahana berukuran besar di hadapannya. "Caka, naik bianglala mau?"

Sejujurnya Caka kurang suka naik bianglala, baginya wahana itu membosankan dan kurang menendang adrenaline. "Papah mau naik itu?"

"Mau," jawab Mael tersenyum setelahnya.

.

.

.

Lima belas menit mereka habiskan waktu di antrian, tiba juga giliran Ayah dan anak itu menaiki satu gondola yang kosong. Air wajah Mael kini lebih cerah, jadi Caka tepis pendapat kontranya terhadap wahana lambat ini.

"Dulu first date Papah sama Papih itu naik bianglala kecil di pasar malem. Gak tahu kenapa malah ke situ, gak ada romantis-romantisnya padahal." Tawa kecil Papah keluar kala dirinya terbawa nostalgia. "Tapi mungkin karena waktu itu duitnya baru mampu sampai sana."

Giliran Caka yang menertawai Papahnya. Hatinya menghangat melihat kedua manik bulat Papah saat memandang pemandangan langit senja di luar gondola, sepertinya wahana ini memang menyimpan makna khusus bagi Papah.

"Papah bisa pacaran sama Papih dulu kayak gimana?" tanya Caka penuh penasaran. "Sebenarnya aku udah pernah diceritain Papih, sih. Tapi aku mau tahu versi Papah."

"Kurang lebih pasti sama kayak cerita Papih kamu."

"Cerita dong, Pah. Versi Papih tuh katanya dulu doi anak hits dan banyak disukain orang lain, terus Papah ngotot banget ngejar Papih. Akhirnya dari seluruh orang yang naksir, si Papih pilih Papah karena katanya Papah yang paling ganteng."

Caka mengedikkan bahunya. Sulit rasanya mempercayai omongan Papihnya sendiri, Caka tak bisa membayangkan Papahnya yang super kaku itu mengejar-ngejar cinta Papihnya di masa lalu. "Beneran gak tuh? Aku rasa si Papih ngarang."

Tawa keras Mael menggaung dalam gondola sempit itu, Caka saja jadi ikut tertawa karenanya.

"Fun facts, semua yang Papih kamu bilang itu benar kecuali mungkin ... tentang fakta dia pilih Papah karena yang paling ganteng. Soalnya banyak yang lebih ganteng, hahaha." Mael menyamankan posisi duduknya, senyumnya tidak hilang dari wajah senangnya.

MY AWKWARD DAD | MarkHyuckOnde histórias criam vida. Descubra agora