57. I Can't Forget It

1.8K 43 9
                                    

"Makanlah." Tangan Zein yang sedari tadi menggenggam sebuah sendok terus saja terulur tepat di hadapan Emerald yang terus menggeleng kecil menolak permintaannya, wanita itu malah menutupi mulutnya dengan kedua tangan.

Emerald terisak kecil, wanita itu terlihat sesunggukan. Sesekali ia juga menggigit bibir bawahnya dengan kuat menahan tangis yang terlihat akan pecah.

Zein menghela napas, tangannya yang sedari tadi menggenggam sendok kini perlahan turun dan meletakkan sendok itu kembali di atas piring.

"Ada apa lagi, hem? Sudah beberapa hari ini kau terus saja menahan tangis seperti ini. Bahkan di ajak makan pun sangat susah, Emerald kau tau 'kan jika saat ini---"

"Ya, aku tau. Aku mengerti jika saat ini bukan hanya aku yang membutuhkan asupan makanan tapi juga bayi lemah yang saat ini sedang berada di dalam perutku. Cepat suapi aku sekarang," ujar Emerald cepat sambil membuka mulutnya untuk menerima sesuap makanan dari Zein.

Zein tersenyum tipis tak ingin menyia-nyiakan kesempatan pria itu pun langsung kembali meraih sendok tersebut dan memberikannya pada Emerald, menyuapi wanita itu.

Emerald perlahan mengunyah makanan itu dan menelannya dengan paksa meski makanan itu masih belum sepenuhnya melebur di dalam mulut namun dia tetap berusaha menelan. Sudah beberapa hari ini dia selalu melakukan hal itu, itu cukup yang membuat Zein khawatir. Emerald tidak sepenuhnya bisa menghabiskan makanannya seperti sebelum-sebelumnya saat malam dengan porsi makan yang cukup besar. Sekarang porsi makannya tak sebanding dengan beberapa Minggu lalu. Bahkan untuk menelan makanannya terkadang Emerald meminum banyak air terus-menerus hingga tanpa sadar malah jadi ikut kenyang sendiri.

Setelah cukup lama memaksakan Emerald untuk makan Zein menatap wanita itu kembali dengan tatapan lekat, matanya kembali sembab dengan napas yang tersendat-sendat.

Tangan Zein perlahan terulur untuk mengelus surai Emerald, bersikap dengan sangat lembut karena berharap karena itu dia bisa membuat Emerald berbicara dengan jujur.

"Tolong katakan dengan jujur, bagaimana aku bisa tahu apa penyebab kau menangis seperti ini. Jika aku tau mungkin aku juga akan membantu mencari atau meringankan solusi untukmu."

Emerald masih diam, dan selalu ini jawaban yang Zein selalu dapatnya selama seminggu ini. Zein mengusap kasar wajahnya, wajah Emerald semakin pucat dengan bentuk pipinya yang mulai tirus akibat makan dengan hanya sedikit saja selama beberapa Minggu ini. Jujur saja Zein merindukan Emerald yang makan dengan sangat lahap dan tidak susah untuk di suapi, bahkan wanita itu terkadang ceria meski banyak beban hidup yang terkadang membuatnya sedih, tapi itu hanya berlangsung untuk sementara karena setelahnya Emerald akan terlihat baik-baik saja.

Namun apa yang terjadi pada beberapa hari ini membuat Zein semakin heran dengan sikap wanita itu yang selama ini berubah-ubah.

"Apa ini karena Athes juga?" tanya Zein dengan memandang lekat wanita itu.

Emerald sejenak menghentikan isakan kecilnya yang sedari tadi terus saja keluar, wanita itu malah menatap Zein dengan mata sembab yang mengerjab-ngerjab lambat.

Menyadari reaksi Emerald membuat Zein jadi sadar, Zein menghela napas lega ia pikir ada hal berat yang terjadi namun ternyata ia salah.

Kali ini Zein tertawa, ia merasa bodoh sendiri karena ia pikir sesuatu yang buruk sedang terjadi, misalnya kematian seseorang? Atau ada kabar duka lain yang berusaha di sembunyikan Emerald hingga hanya bisa mengungkapkannya dengan tangis saja.

"Kau baik-baik saja 'kan?" tanya Zein memastikan sekali lagi yang di balas dengan gelengan lemah Emerald. Tangan wanita itu perlahan terulur dan menggenggam erat ibu jari Zein.

"Zein ... Aku merindukan Athes ...." lirih Emerald dengan bibir bawah yang menekuk, menatap pria itu dengan tatapan memelas sedangkan satu tangannya ia pergunakan untuk menarik-narik kecil telunjuk tangan Zein.

"Kau masih belum melupakan pria itu?" tanya Zein sekali lagi untuk memastikan yang di balas dengan gelengan kepala oleh wanita itu.

"Mana mungkin aku bisa sedih dan menangis seperti ini jika tidak teringat dengan Athes?" balas Emerald kemudian.

"Tapi berhenti mengharapakan Athes. Itu malah akan semakin membuatmu bersedih, bahkan tidak ada satupun orang di dunia ini langsung mati hanya karena sakit hati kecuali jika dia memang ingin bunuh diri."

"Kau benar, tapi aku tidak bisa Zein ... Bagaimana caranya, bantu aku ...." lirih Emerald dengan mengubah pegangan tangannya pada jari telunjuk Zein menjadi menggenggam pergelangan tangan pria itu dengan erat.

Zein terdiam sejenak, dia menggaruk pelan tengkuknya yang tidak gatal. Sebenarnya pertanyaan ini yang sebenarnya tidak bisa ia jawab dari banyaknya pertanyaan lain.

Bagaimana mungkin dia bisa membuat Emerald melupakan ayah dari bayi yang tengah dia kandung sedangkan dia sendiri tidak pernah memiliki pengalaman tentang hal seperti itu. Seumur hidup Zein tidak pernah memiliki seorang kekasih karena hidupnya yang terlihat monoton, itu bukan dasar paksaan melainkan keinginannya sendiri yang sedari dulu memang hanya memiliki tujuan untuk menjadi dokter, untuk memiliki seorang istri ataupun anak tak pernah terpikirkan di benak Zein, itulah sebabnya kenapa sampai sekarang Zein masih melajang. Padahal di umurnya sekarang dan memiliki pekerjaan tetap Zein memang sudah sangat cukup matang untuk menikah.

Tapi sekali lagi, Zein memang sangat awam dengan yang namanya urusan percintaan.

Apalagi ketika melihat Emerald yang sudah beberapa Minggu ini selalu menangis hanya karena merindukan seorang pria yang ternyata bukan siapa-siapanya. Wanita itu terlihat tersakiti dan terluka, hal itu cukup membuat Zein semakin was-was dan berpikir mungkin sepertinya dia harus melajang seumur hidup saja dari pada akan terus mengalami luka batin seperti yang di rasakan Emerald sekarang.

Zein menurunkan pandangannya menatap Emerald yang kini terlihat sesunggukan, wanita itu menunduk dengan dalam.

Zein yang tidak tahu apa yang harus ia lakukan pun segera menarik tubuh wanita itu dan merengkuhnya, membawa Emerald ke dalam pelukannya.

"Emerald, tenanglah ... Kau harus perlahan-lahan melupakan dia." Zein mengusap-usap pelan bahu Emerald. Cukup lama Emerald menangis di dadanya hingga tanpa sadar suara wanita itu perlahan lenyap.

Saat Zein memeriksa kondisi Emerald ternyata wanita itu telah tertidur pulas, syukurlah.

Godaan Gadis Liar 21+Where stories live. Discover now