Chapter 14: Kejujuran yang Dianggap Candaan

414 40 0
                                    

Demi Tuhan!

Elio kesal setengah mati. Kenapa rencananya untuk kencan berdua dengan Iluka selalu mendapat gangguan?! Tadi Ardhani, sekarang Nata, nanti siapa lagi? Benar-benar, deh, pasangan orang tua dan anak satu itu sangat mirip; sama-sama pengganggu.

Sialan.

Tidak bisakah satu hari saja hidup Elio tenang tanpa gangguan apa pun? Padahal bukan hal yang mudah mengajak Iluka berkencan. Apa Elio perlu melepas beberapa ular kobra ke kediaman Pratama? Agar mereka tidak bisa mengganggu kebersamaannya dengan Iluka lagi?

"Yah, itu bukan rencana buruk," gumam Elio teramat pelan.

"Maaf? Kamu ada bilang sesuatu?" Nata memiringkan tubuhnya agar lebih leluasa menatap Elio.

Saat ini, keduanya tengah duduk berdampingan di bangku panjang depan cafe. Hanya berdua. Sebab Iluka langsung kabur setelah memberi satu-dua pesan pada Elio agar menemani Nata selama beberapa waktu.

"Enggak ada." Elio menjawab seraya memaksa senyum.

Setelahnya hening. Baik Elio maupun Nata sama-sama bungkam. Berbeda dengan Nata yang tak mengeluarkan suara karena canggung, Elio diam karena tidak ingin membuang tenaga untuk mengobrol. Dia terlalu malas. Jadi, mari pertahankan keheningan ini.

"Cewek tadi itu ... adik kamu?" tanya Nata memecah hening. "Tapi, bukannya kamu anak bungsu? Dari yang kudengar, katanya keluarga Javier cuma punya dua anak."

"Lo gak salah, tapi dia beneran adek gue. Adek angkat lebih tepatnya."

Nata mengangguk paham. Itu artinya, ia harus waspada. Mau bagaimana pun, mereka hanya saudara angkat. Apalagi Elio memiliki daya pikat yang membuat para kaum hawa jatuh hati pada pandangan pertama. Jadi, tidak menutup kemungkinan bila adiknya Elio menaruh perasaan terhadap kakaknya sendiri, 'kan?

"Meski saudara angkat, kalian keliatan akur banget, ya?" tanya Nata. Mencoba mengorek informasi sebisanya. Barangkali perbincangan kali ini bisa berguna suatu saat nanti.

"Enggak juga. Kita malah sering ribut untuk hal sepele seperti nentuin menu makan siang." Elio menjawab jujur.

Dibanding akur, dirinya dan Iluka lebih terlihat seperti kucing dan anjing. Tiada terlewat satu hari pun tanpa keributan. Apalagi Iluka yang mudah emosi membuat Elio kian gencar menjahili.

Terlepas dari itu semua—bagi Elio sendiri—Iluka tidak cocok menjadi saudara angkatnya. Gadis berparas ayu itu jauh lebih pantas menjadi pasangan hidupnya. 

"Punya saudara itu pasti menyenangkan, ya? Karena aku anak tunggal, aku sering merasa kesepian," ungkap Nata.

Elio yang sedari tadi memandang jalanan, beralih menatap Nata. "Gimana kalau tiba-tiba lo punya sodara?" tanyanya seraya tersenyum tipis.

Nata tergelak. "Itu gak mungkin."

"Gak ada yang gak mungkin. Semua kemustahilan bisa aja terjadi," sahut Elio. "Ah, ya." Ia teringat sesuatu. "Tadi katanya lo mau ke rumah sakit buat jenguk temen lo. Emangnya mereka kenapa?"

Mata bulat besarnya menatap heran. "Kamu ... gak tau? Padahal beritanya heboh banget."

Elio menggeleng, pura-pura tidak tahu.

"Tiga hari yang lalu, mereka diculik. Pihak kepolisian udah bantu nyari, tapi keberadaan mereka masih belum ditemukan. Terus, dua jam yang lalu, ada laporan masuk kalau mereka ditemukan di pinggir jalan dekat hutan yang terkenal angker itu," jelas Nata.

"Keadaan mereka gimana?"

"Kurang tau. Aku baru mau liat, 'kan?"

Benar juga. Nata pasti tidak tau bagaimana kondisi keempat temannya. Secara, 'kan, Elio baru melepaskan mereka beberapa jam lalu. Paling-paling pihak kepolisian dan dokter saja yang tahu separah apa kondisi mereka. Elio jadi penasaran, kira-kira keadaan mereka membaik atau malah memburuk, ya? Apa Elio perlu menjenguk mereka?

Elio's Obsession [END]Where stories live. Discover now