Chapter 19: Tertekan

411 45 0
                                    

"Gue kasih waktu satu bulan. Ingat, satu bulan! Kalau sampai batas waktu yang gue kasih masalah lo masih belum beres, gue bakalan turun tangan buat bantu lo. Tapi ... lo gak lupa kalau gue beda sama lo, 'kan? Jadi, tolong maklumi kalau nantinya gue kelepasan dan malah bunuh keluarga lo."

Sederet kalimat sarat ancaman Elio lontarkan kemarin malam. Membuat Iluka—mau tidak mau—memikirkannya seharian. Jelas itu bukan ancaman semata. Ia tidak bisa mengabaikan peringatan tersebut seperti yang sudah-sudah.

Iluka tidak mungkin tidak tau jika Elio sudah mencapai batas toleransi dan tidak bisa menemaninya 'bermain' lagi. Elio ingin Iluka lepas dari masa lalu yang membelenggu secepat mungkin. Karena dengan begitu, Iluka akan sepenuhnya menjadi milik Elio; Iluka tidak akan memikirkan hal lain selain Elio; mata Iluka akan tertuju pada Elio; dan seluruh hidup Iluka akan terpusat pada Elio.

Pemikiran si brengsek itu jelas bisa Iluka tebak. Memang apa lagi keuntungan yang bisa Elio dapat jika Iluka menuntaskan pembalasan dendam selain dirinya beserta seluruh hidupnya?

Oh, tidak! Membayangkan kehidupannya—bersama Elio—nanti membuat Iluka merinding.

Ia ingin melarikan diri dari kenyataan yang membentang di depan sana. Namun, Iluka bisa lari ke mana? Elio pasti bisa menemukannya di mana pun berada. Bahkan sampai ke ujung dunia sekali pun. Ditambah hutang nyawa yang Iluka miliki semakin membuatnya berpikir dua kali untuk kabur.

Iluka menjambak rambutnya dan mengantukkan kening pada kursi mobil di depan—frustasi dengan apa yang menimpa. Iluka jadi menyesali perbuatannya dulu yang menerima uluran tangan Elio tanpa tau bila masalah lebih besar siap membanjirinya begitu tangan mereka saling tertaut. Padahal, jika saat itu Iluka tidak memedulikan Elio, mungkin ia sudah bertemu dengan sang ibu.

Iluka berhenti membenturkan kepalanya ketika tangan Elio menghalangi. Ia menegakkan tubuh, lantas memandang Elio yang tengah menonton film pembunuhan seraya tertawa terbahak-bahak. Seakan tontonannya adalah komedi paling konyol yang pernah ada.

"Gak ada yang boleh bikin lo sakit selain gue, termasuk diri lo sendiri," kata Elio tanpa melihat Iluka. Setelahnya menarik tangannya kembali dan fokus menonton.

"Salah siapa gue jadi gini?" cibir Iluka seraya menatap sinis.

"Gue?" Elio kembali terbahak, sedangkan Iluka membuang muka—menatap keluar jendela. Kembali hanyut dalam pikirannya yang acak-acakan.

Balas dendam, ya? Baiklah. Itu bukan hal sulit. Meski Iluka tidak memiliki pemikiran jahat macam Elio, tapi menghancurkan hidup seseorang tidak sesusah itu, 'kan?

Iluka sudah membuat keluarga Pratama yang harmonis dilimpahi kesalahpahaman. Iluka sudah membuat kehidupan Nata yang nyaman dipenuhi teror. Iluka juga sudah membuat mental Nata agak terganggu. Jadi, tinggal setengah jalan untuk menghancurkan keluarga tersebut. Iluka hanya perlu berjuang sedikit lagi untuk mencapai tujuannya.

Iya, sedikit lagi.

Lalu, setelah itu ... apa yang akan terjadi pada Iluka? Senang? Lega? Atau malah ... bersalah? Mau dipikir bagaimana pun, Iluka hanyalah remaja berusia enam belas tahun yang memiliki nurani.

Apa benar setelah menyelesaikan dendam yang mengakar selama bertahun-tahun, Iluka bisa hidup nyaman seperti kebanyakan orang?

"Kenapa gue jadi gini, sih? Padahal sedari awal, gue gak pernah mikir konsekuensi apa pun." Saat itu, pikiran Iluka tertutup kabut amarah. Dalam pikirannya hanya terpikirkan satu hal; balas dendam. Apa pun yang terjadi, ia harus balas dendam. Namun, setelah disekap Elio, Iluka jadi memikirkan banyak hal, termasuk pembalasannya. Ia jadi bertanya-tanya apa jalan yang dipilihnya tepat ataukah tidak.

"Jangan terlalu banyak mikir," celetuk Elio. "Kasian otak kecil lo gak mampu nyerna apa pun."

"Sialan!"

"Gue serius." Elio mematikan ponselnya, kemudian menatap Iluka intens. "Jangan kebanyakan mikir. Emangnya dengan lo mikir bisa bikin hidup lo berubah? Enggak, 'kan? Jadi, ya, tinggal jalanin aja."

Walau perkataan Elio terdengar menyebalkan, tetapi ada benarnya juga. Iluka tidak bisa menyangkal.

"Sekarang gue mau nanya."

Duh, perasaan Iluka jadi tidak enak. Semoga saja Elio tidak menanyakan pertanyaan aneh. Dengan was-was bertanya, "Apa?"

"Lo pengen keluarga Pratama gimana?"

Apalagi? Tentu saja .... "Hancur."

Elio mengangguk paham. Ia memangku tangan seraya melanjutkan, "Coba sebutin lebih spesifik."

"Gue pengen mereka kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Gue pengen ngerebut kebahagiaan mereka."

Membicarakan keluarga Pratama membuat ingatan Iluka terbawa ke masa lalu. Semua perlakuan kejam yang Gayatri lakukan masih teringat dengan jelas. Iluka marah. Merasa tidak terima dengan apa yang Gayatri lakukan di masa silam.

Dengan mata berkilat murka dan tangan yang terkepal di bawah kursi, Iluka melanjutkan, "Gue pengen keluarga mereka hancur sehancur-hancurnya."

Baiklah. Iluka akui dirinya tidak punya pendirian. Baru saja merasa tertekan karena harus menuntaskan pembalasan. Lalu sekarang? Dendam itu malah kian membara dalam hatinya; Iluka semakin bersemangat untuk membuat keluarga Pratama hancur.

Tapi, memangnya apa yang bisa Iluka lakukan dengan itu? Plin-plan itu manusiawi, 'kan? Salahkan saja kemampuan Elio yang bisa membuat Iluka mengubah pilihan dalam sekejap.

"Oke. Gue ngerti. Dan bukannya sekarang solusi dari permasalahan lo ada di depan lo, ya?"

Iluka mengernyit. Sama sekali tidak paham dengan perkataan Elio. "Maksudnya?"

"Em, simpelnya gini." Elio menggaruk alisnya seraya merangkai kata agar bisa lebih mudah dipahami Iluka. "Karena Nata adalah pusat dari keluarga itu, lo tinggal bikin dia hancur aja, 'kan? Nanti, kedua orangtuanya bakalan ikutan hancur. Dan lo bisa manfaatin gue buat bikin Nata ngerasa putus asa."

Iluka membenarkan letak kacamatanya dengan wajah bingung. Mendadak otaknya tidak berfungsi kala Elio mengeluarkan kata demi kata barusan. Ia menatap Elio tanpa kedip, lantas bertanya, "Terus?"

"Coba lo bayangin apa yang Nata rasa ketika orang yang berharga baginya lo rebut? Apalagi di saat keadaan keluarganya lagi gak baik-baik aja? Bukannya dia ... bakalan putus asa dan ngerasa dunia gak adil?"

Ah, Iluka mengerti dengan arah pembicaraan ini. "Di saat orang putus asa, bikin dia hancur gak sesusah itu jadinya," timpal Iluka setelah berhasil mencerna kalimat yang susah dipahami itu.

Ternyata Elio memang solusi terbaik dari permasalahannya. Begitu Elio Iluka 'rebut' dari Nata, tinggal menunggu waktu saja sampai adik kesayangannya itu hancur.

Elio menjentikkan jari seraya berseru, "Tepat!" Ia menggantungkan tali ransel pada salah satu pundak, keluar mobil, berjalan memutari kendaraan roda empat tersebut, lantas membuka pintu mobil di sisi Iluka.

Elio mengulurkan tangan seraya tersenyum manis. "Jadi, tunggu apa lagi? Ayo, hancurin sampah-sampah gak berguna itu!" ajaknya yang dibalas senyuman manis dari Iluka.

"Iya, ayo."

____________________________________________
13 Desember 2023

Elio's Obsession [END]Where stories live. Discover now