Prolog

26 10 1
                                    

“Kamu itu ... percuma cantik, kalo penyakitan gini.”

Kenapa?

Kenapa hal terakhir yang harus kuingat di penghujung hidup adalah kalimat menyakitkan?

Dari lelaki itu, suamiku.

“Ambulans, cepat panggil ambulans!” Samar suara panik orang-orang di sekitar menyapu pendengaran. Grasah-grusuh mereka berlari, bahkan menangis sejadi-jadinya.

Daun telinga Kemala Sari telah dilumuri darah segar beserta debu jalanan, melalui luka benturan pada kepala, cairan merah tersebut tak kunjung berhenti mengalir. Sekujur tubuhnya lemas, kebas, pun pandangan buram tergantikan kegelapan.

Kelopak mata menutup, bersama embusan napas lirih dan setelah itu, tak ada tarikan guna mengisi rongga paru-paru. Ia diam ... tertidur pulas untuk selama-lamanya.

Andaikan waktu bisa terulang.

Apa yang akan Mala pilih?

Pernikahan tanpa cinta, melibatkan perempuan di bawah umur, itu cukup untuk mengirim sang suami ke persidangan. Namun, tidak. Bukan hanya fisiknya yang lemah, hati pun demikian. Pertahanan goyah, apalah daya bagi gadis lugu yang tak mengerti beratnya jatuh cinta.

Jika lelaki itu menginginkan buah hati dari rahimnya, meski belum siap ... tetap ia perjuangkan.

Kisah selanjutnya bukan romantisme pernikahan pada umumnya. Mampu mengacaukan mental seseorang, bahkan dampak negatif lain, trauma. Meski begitu, bagaikan menikahi orang berbeda, lahirnya si mungil membawa banyak sekali perubahan.

Di tengah kebahagiaan, tentu ada keterpurukan.

“Kak, kalo waktu mampu diulang, Kakak tetap milih menikahiku atau nggak?”

Ketakutan terdalam Mala ... jika suatu saat Andra berubah lagi, selalu muncul, menghantui ketenangan.

“Kamu kenapa tiba-tiba? Jangan ngomong yang aneh-aneh, Dek.”

Mala merasa wajar apabila lelaki itu memilih jalan lain, siapa yang mau berada dalam kekang kewajiban mengurus serta membiayai istri penyakitan.

“Coba kita seumuran, aku enggak perlu khawatir sama hal yang gak pasti!” Kondisi perempuan itu benar-benar kacau, frustrasinya kembali muncul.

Semakin ia mencintai lalu mendapatkan kasih sayang, besar pula tekanan yang dihadapi. Umur mereka terpaut begitu jauh. Membuatnya semakin agresif apabila ada masalah, overthinking, dan sebutan negatif lainnya. Singkat, ia tak bisa mengelola emosi dengan baik.

Ia perempuan aneh, terluka tetapi berusaha terlihat baik-baik saja. Dengan mudahnya menerima permintaan maaf lelaki itu dan membangun kembali puing-puing bahtera rumah tangga, padahal ketika sedikit terpancing, luka itu akan menyebar ke mana-mana.

Yang ia perlukan adalah obat. Orang-orang mengatakan kalau hanya si pelaku kunci dari kesembuhan hati yang terluka, nyatanya itu tak benar.

Pemilik luka-lah ... pusat utama. Hendak berdamai, menerima, dan sebagainya, ia harus mencari cara sendiri, pelaku hanya menukar peran menjadi pendukung. Masalah kesehatan hati itu urusan sang empunya.

Sebuah surat terselip di buku diary-nya ....

***

Surat itu adalah jawaban dari pertanyaan Andra tentang sikap Mala. Lengkapnya ada di novel! Jadi, jangan ketinggalan PO-nya ya! InsyaAllah mulai open November nanti, banyak Promo dan Bonus!

37 Days With My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang