The Medicine

12 3 0
                                    

Versi lengkap bisa order novelnya, ya.
Cuman 89.000 (harga PO s.d tgl 30 Nov 2023)
Jadi jangan sampe ketinggalan!



Dapatkan photocard eksklusifnya.
Andra & Mala bakalan bikin kalian mleyot.



Instagram: @umbrielliza



< Happy Reading >

Andra berteriak kesal dibuatnya. Tak setega itu.

"Jangan diem aja, Goblok!" Kembali ke dekat meja, ia menarik lengan Mala agar turut berlari bersamanya.

Dia bilang aku apa tadi? Membatin.

Perempuan itu syok berat, belum pernah Andra mengumpat di depan wajahnya, hingga tak sadar mereka sudah sampai di belakang sebuah rumah yang dipagari kayu. Sesak napas kambuh lagi, membuat lutut lemah dan segera terduduk-berjongkok.

"Hampir aja masuk bui, lo barusan nyari mati?" omel lelaki itu mengusap rambut yang penuh keringat, tanpa melirik ke samping. "Ck, gilaa ... mana duitnya ketinggalan. Makan enak polisinya." Merasa tak dihiraukan, Andra semakin marah. "Heh! Lo dengar, 'kan?"

"Uhh? Yah ... iya," ujar Mala, pelan, tak mendongak sebab mencoba rileks.

Gak pa-pa, tolong jangan panik, aku baik-baik aja, aku sehat, asmanya pasti cuman sebentar, batinnya bicara pada diri sendiri, kini tangan sudah menekan tenggorokan yang terasa gatal. Serba salah, jika ia biarkan batuk walau hanya sekali, sesak akan bertambah parah.

"Hei, lo kenapa?" Lelaki itu turut berjongkok dan kelabakan menarik wajah Mala agar mengarah padanya.

Entah air mata atau keringat yang membasahi pipi dan dagu itu, intinya ... ia sangat kesakitan. Panik bukan main, Andra segera menaruh lengan lemah Mala pada punggungnya, agar dapat dibawa ke tempat lain.

Aku menyusahkan lagi, ya. Di mana pun dan kapan pun ... Kakak harus kesusahan gara-gara aku. Akibat pikiran kalutnya, saluran pernapasan semakin menyempit oleh lendir, beberapa kali terdengar batuk. Sedangkan laki-laki yang menggendongnya di punggung sedang berusaha berjalan cepat. Ia yang hafal seluk-beluk kampung itu mengambil jalan pintas.

Sampailah mereka di sebuah warung kecil. Andra buru-buru menurunkan Mala ke kursi anyaman, dan memanggil penjual. Sempat berbicara beberapa patah kata, menunggu, dan menerima sodoran gelas beserta tiga biji obat.

"Minum dulu, pelan-pelan." Andra refleks memegangi tangan Mala yang gemetaran, membantu menopang gelas, ia tak tahu tingkat kekuatan perempuan itu sekarang. Bisa saja mengangkat jemari pun tak kuasa. Setelah menenggak obat dan air putih, mereka diterpa kesenyapan, lumayan lama.

Lelaki berkulit agak gelap itu pun mulai memikirkan perbuatan-perbuatan spontannya beberapa waktu lalu. Mengapa seolah hal biasa?

"Makasih, Kak, sekarang udah mendingan."

"Lo tadi kenapa? Punggung gue sampai basah kena keringat lo." Berlebihan, sebenarnya tidak sebasah kuyup itu sampai-sampai ia harus komplain.

"Dia kena serangan asma," sela penjual obat tersebut. "Tidak bisa beraktivitas fisik yang berat-berat."

Artinya, semua ini karena gue ajak lari? Kemudian, perasaan bersalah bertaburan di benak Andra, menerornya, tetapi kalah oleh gengsi tingkat langit ketujuh.

Sudah berapa kali meminta maaf hari ini? Serta menurunkan ego pada orang yang sama. Sungguh memalukan apabila hanya karena kesalahan kecil ia mengucapkan kata itu lagi. Jangan sampai, nanti saja, pikirnya.

"Kalau telat sedikit, dia bisa saja kehilangan nyawanya. Banyak kejadian, orang meninggal karena tidak bisa bernapas, begini kira-kira prosesnya." Penjual di sana berujar lagi, lalu mengambil gelas yang diserahkan Mala dan pergi.

37 Days With My HusbandDonde viven las historias. Descúbrelo ahora