8. Bolehkah saya pinjam seratus?

1.2K 33 0
                                    

Angin malam mulai berhembus dengan kencangnya. Pohon-pohon yang awalnya hanya berdiam diri, kembali berguncang.

"Pak, makasih ya traktirannya, besok-besok traktir lagi. Tapi traktirnya di toko emas" ucap Nadhira dengan tidak tahu diri.

"Tuk" Satu tangan berhasil mendarat di kepala Nadhira. "Ngelunjak" jawabnya.

Nadhira meringis kesakitan, meski tidak begitu sakit. Ia sengaja dibuat lebih dramatis. "Aduh, kepala saya bisa-bisa jadi retak. Kalo retak gini harus dibawa kerumah sakit. Biaya rumah sakit kan mahal. Gimana kalo kita pake jalur tengah aja? Bapak langsung kasih saya uang seratus ribu. Dengan begitu masalah clear"

Sagara memutar bola matanya malas. "Lebay"

"Ya gimana ya, hidup itu butuh uang"

"Terserah, saya mau pulang" jawab Sagara lalu berbalik arah untuk pergi ke mobilnya.

"E-eh tunggu, Pak" tahan Nadhira dengan tangan yang memegang lengan Sagara.

Sontak Sagara pun terkejut lalu berbalik arah. "Apa?"

Nadhira tersenyum manis melihat Sagara. Sangat manis sekali. "Agar silaturahmi tidak terputus, bolehkah saya pinjam seratus?"

Wajah Sagara kembali menjadi datar.

"Ayolah Pak, lima puluh deh" ucap Nadhira bernegosiasi.

Sagara menghembuskan nafas berat. "Untuk apa?"

Senyum manis kembali ditampilkan oleh Nadhira. "Bensin saya abis" jawabnya kemudian memandangi motor cantiknya.

Sagara menghela nafas panjang. Bisa-bisanya ia mendapat anak murid seperti ini. Bahkan kelakuannya lebih parah dari teman-temannya.

Kemudian Sagara mengambil dompetnya dan memberikan Nadhira selembar uang berwarna merah.

"Lima puluh aja deh, Pak. Seratus kebanyakan" tolak Nadhira.

"Ambil, tidak usah diganti" ucap Sagara tetap dengan selembar uang berwarna merah yang ia pegang.

"Pak saya serius. Lima puluh aja nanti saya ganti"

"Ambil, memberikan kamu seratus ribu tidak akan membuat saya jatuh miskin" jawabnya dengan menarik tangan Nadhira dan menaruh uang tersebut ke tangannya.

"Bapak, dirimu sangat baik hatinya seperti si Entong" ujar Nadhira dengan dramatis. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca.

"Stttt gak usah lebay, saya mau pulang"

"Oke Pak, hati hati. Arigatou gozaimasu"

Sagara mengangguk lalu segera pergi menuju mobilnya.

Nadhira terus menatapi punggung Sagara yang semakin menjauh.

Sampai Sagara benar-benar pergi dari hadapannya. Setelah itu, ia menaiki motornya. Dan mulai melajukan-nya pergi meninggalkan taman.

...........

Rumah sederhana berada dihadapannya. Rumah bernuansa coklat dengan garis cat warna putih disekelilingnya. Tanaman-tanaman yang berada di sekeliling rumah tersebut sudah lumayan layu, mungkin karena jarang disiram.

"Klek" Pintu rumah terbuka lebar. Nadhira segera masuk lalu menutupnya kembali.

Keadaan rumah sangat hening. Tidak ada yang bersuara sedikitpun. Apakah Mama-Nya sudah pulang?

Kaki Nadhira melangkah menuju anak tangga. Ia harus segera membersihkan badannya. Badannya sudah terasa sangat lengket dan bau.

"Prang"

Baru saja ia melangkahkan kakinya di anak tangga pertama. Terdengar suara vas bunga terjatuh dari atas lemari.

"Gue tuh capek dari kemarin kerja banting tulang buat keluarga!! Lo gak ada sedikitpun apresiasi perjuangan gue. Tiap hari kerjaannya judi judi dan judi!!!"

Itu suara Mama-Nya. Sepertinya akan terjadi peperangan lagi.

"Gue gak pernah maksa lo buat kerja! Gue juga tiap hari kerja banting tulang, gak cuma lo doang!!!" jawab Genta dengan nada sama ketusnya.

"Pranggg" Satu vas bunga kembali di lempar oleh Tiara. "Tapi keadaan yang maksa gue buat kerja!! Coba kalo lo gak miskin, kita gak bakalan hidup kayak gini!!"

"Mama dan Papa selalu aja berantem, mereka sadar gak sih kalo aku ada disini?" Batin Nadhira dengan perasaan yang miris. Ia kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar.

.....

Di lain tempat, ada seorang lelaki yang tengah memetik sebuah gitar di balkon kamarnya.

Petikan demi petikan gitar terdengar. Merdu sekali.

"Selalu aku lihat belakang punggungmu disaat kau lihat belakang punggung pria lain.."

"Menunggu kau menoleh dan berlari ke arahku dan memelukku, seerat-eratnya"

"Angga, ayo makan dulu" ajak seorang wanita paruh baya yang tiba-tiba saja membuka pintu kamar.

"Angga udah makan, Bun" jawab Sagara tanpa menoleh ke arah Devia.

Devia berjalan mendekati Sagara. "Gak biasanya kamu makan diluar"

Sagara berbalik arah menghadap sang Bunda. "Tadi Angga ketemu anak murid Angga di taman, dia kayak sedih. Makanya Angga ajak makan biar gak sedih lagi, kebetulan juga tadi Angga lagi laper" jelas Sagara.

Devia mengangguk. "Gimana hari pertama kamu ngajar?"

Sagara menghela nafas panjang. "Jadi guru ternyata susah, Bun"

Devia tersenyum mendengarnya, kemudian ia menepuk pundak Sagara. "Kamu akan belajar banyak dari itu semua"

"Oh ya, kapan kamu akan menikah?"

Sagara menghembuskan nafas berat. Pertanyaan ini sering kali keluar dari mulut anggota keluarganya. Ntah itu Ayah nya, atau pun kerabatnya yang lain.

"Jodohnya belum ketemu"

Devia terkekeh geli mendengarnya, "jodoh gak akan ketemu kalo kamu gak nyari"

"Males, udah ah Bun. Angga mau tidur"

Masih dengan tawa kecilnya, Devia mengangguk menjawabnya.

"Kalo tiba-tiba laper, ada ayam kecap di wajan. Tapi nanti tutup lagi" ucap Devia memberi tahu.

"Iya, Bunda"

Setelah itu, Devia pun pergi menjauh dari hadapan Sagara. Ia membuka pintu kamar lalu keluar dari kamar dan kembali menutupnya.

Sementara Sagara hanya diam saja memandangi pintu yang baru saja ditutup oleh Bundanya.

NASA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang