Part 09

19.7K 952 3
                                    

Di antara ramainya manusia yang berlalu-lalang di bandara X, sepasang mata milik seorang wanita yang memindai layaknya burung elang yang mencari mangsa.

Matanya semakin menyipit memperhatikan seorang wanita berpakaian mencolok bak artis di karpet merah—tengah berlarian menyebut namanya.

“Aluqa, Aluqa!” Dia melambai-lambaikan tangan dengan suara yang menarik perhatian pengunjung lain.

Yang dipanggil segera menutup setengah wajah dengan topi bundar merah muda miliknya.

Brugh. Aluqa terhuyung ke belakang setelah wanita itu melompat ke arahnya.

“Jenita, kau tidak berubah, ya,” ucap Aluqa, memisahkan diri dari dekapan erat Jenita.

“Kau juga sama, bagaimana kabarmu?”

“Setelah memutus kontak kau bertanya tentang kabarku?” Aluqa memandang sinis, pasalnya Jenita menghubungi Aluqa setelah empat tahun pergi tampa kabar.

Dan sekarang dia minta jemput.

Ingin marah tapi Jenita adalah satu-satunya sahabat Aluqa sejak di bangku SMP.

“Maaf aku ... ah, lebih baik kita cari tempat makan dulu, sekalian aku cerita kenapa aku mendadak pergi.”

Saran Jenita diterima, kini sampailah mereka di sebuah kafe yang menjadi langganan mereka semasa sekolah. Semua sudah berubah, kafe yang dulu sepi berevolusi menjadi tempat yang selalu ramai setiap harinya.

Sama-sama mereka melirik kursi di dekat pojok kiri, dan sama-sama pula mereka tercengang sebab kursi biasa mereka duduk ditempati oleh wanita yang selalu bertengkar dengan Aluqa masa SMA.

“Itu Lilis Garta enggak sih?” tunjuk Jenita.

Aluqa mengangguk yakin, memang sudah sekian tahun mereka tidak pernah bertemu lagi, tapi Aluqa tidak mungkin lupa dengan wajah wanita yang selalu mengajak ribut tanpa alasan yang jelas.

“Kita pindah?” saran Jenita. Tidak ada lagi meja kosong selain meja yang berdampingan dengan meja Lilis serta tamannya. Entah apa yang terjadi jika api dan angin kembali bertemu.

Namun itu masa lalu, Aluqa yakin mereka sudah sama-sama dewasa untuk  tidak bertengkar di depan umum. Lagi pula dendam apa yang masih membara di antara mereka? Hingga detik ini Aluqa tidak paham kenapa Lilis sangat membencinya.

“Tidak apa-apa, Jen. Kita ke sana saja, mana tahu dia sudah berubah.”

“Tapi-”

“Shut! Kita ini sudah berusia 26 tahun, tidak mungkin dia masih menyimpan dendam tidak jelasnya padaku.”

“Tidak jelas?” Jenita berpikir sembari kakinya melangkah mengekor Aluqa mengambil tempat di meja sebelah Lilis. Benar juga, permusuhan Aluqa dan Lilis tidak jelas asal-usulnya. Jenita bahkan Aluqa tidak tidak mengerti sama sekali, mereka hanya meladeni Lilis yang mengajak ribut dengan mereka.

Duduklah mereka di meja itu, Lilis yang duduk membelakangi mereka belum sadar akan kehadiran Aluqa dan Jenita. Ah, begini lebih baik, mereka tidak perlu bersapa atau pura-pura saja tidak kenal.

“Aman.” Jenita mengancungkan jempolnya. Aluqa membalas dengan mengangkat alisnya. Kemudian mereka menulis pesanan mereka, sembari menunggu mereka bercakap-cakap ringan hingga sampailah pada titik alasan Jenita menghilang.

“Mama mau jodohin aku dengan pengusaha kaya, mana tua lagi. Ya aku mending kabur. Karena kamu sahabat aku mama pasti ada nanya ke kamu 'kan, Aluqa?”

“Iya.”

“Nah, karena alasan itu aku enggak ngasih kabar ke kamu. Takutnya lewat kamu, aku bisa dilacak.”

Ok, alasan Jenita dapat diterima. Memang bukan hal yang mengejutkan mama Jenita setega itu, dia adalah wanita yang tidak pernah puas walaupun hidupnya sudah bergelimang harta.

“Ya, kalau aku jadi kamu juga bakal kabur.”

“Iya 'kan-”

Aluqa langsung menahan jari telunjuknya di bibir Jenita yang hendak bicara. Telinganya menajam guna mendengarkan pembicaraan meja sebelah.

“Iya, Jun bilang akan menikahiku sebentar lagi.” Yang bicara ini adalah Lilis pada temannya. “Dia akan menceraikan si Aluqa sialan itu.”

“Seperti apa sih wajah Aluqa, kau selalu menyumpahinya tapi kami tidak tahu dia itu seperti apa.”

“Sudah kubilang 'kan? Dia itu jelek. Maka dari itu dia disembunyikan oleh keluarganya sendiri.”

Jenita melirik Aluqa, terlihat Aluqa menahan kesal. Apa yang sebenarnya terjadi selama ia tidak ada? Jun? Aluqa? Berpisah? Memangnya mereka memiliki hubungan?

Jenita pun menyingkirkan jari Aluqa dari bibirnya. “Al, yang mereka maksud itu bukan dirimu 'kan?”

“Sebaiknya kita pindah.” Kali ini Aluqa yang berinisiatif untuk pindah. Walaupun bingung, Jenita tetap mengikuti saran Aluqa. Makanan yang mereka pesan juga sudah dibayar walaupun belum sempat disajikan.

Perasaan Jenita menggebu, dia ingin sekali tahu apa yang telah terjadi. Sampai di mobil, Jenita langsung menuntut jawaban. Awalnya Aluqa diam, tapi kemudian dia menjelaskan awal pernikahan dengan Jun.

“Bodoh banget kamu, Al! Gila! Kok kamu enggak cari tahu dulu sebelum ngelabrak? Terus Bilea bagaimana?”

“Dia senanglah dengan pacarnya.”

Jenita tertawa keras, menurutnya ini lucu sekali. “Bagaimana malam pertama dengan teman sekelas Play boy?”

“Enggak! Aku masih perawan, kok.”

“Bagus! Pertahankan, pria banyak simpanan enggak pantas mendapatkan kehormatanmu. Apalagi kata Lilis dia mau menceraikanmu dan menikah dengan Lilis.”

“Iya, baguslah dia mau menceraikan aku. Aku juga enggak betah sama dia. Seram, dia banyak kasar dengan simpanannya.”

***

Pukul 23.20, Aluqa pulang larut sebab menghabiskan waktu bersenang-senang dengan Jenita. Dia jadi lupa diri, masuk ke kamar menemukan Jun bersandar di ranjang tengah menatap tajam kedatangan Aluqa.

“Sudah jam berapa ini?”

Aluqa melirik jam dinding lalu menjawab, “Jam setengah dua belas.”

Jun membuang napas kasar, dia sedang tidak bertanya, melainkan memperingatkan Aluqa.

“Besok kau enggak usah keluar rumah.”

“Hah? Kenapa?”

“Pikir saja sendiri.”

Tangan Aluqa gemetar, dia ingin membantah tetapi takut. Baru ia sadari jika sekarang Jun tengah marah, sebagai orang yang tahu betapa kejamnya sosok Jun, Aluqa membayangkan konsekuensi yang ia terima jika membangkang lebih jauh.

‘Mengerikan.’

Dia melangkah cepat masuk ke kamar mandi lalu membanting pintu.

Aluqa memutuskan untuk berendam dengan air hangat, menenangkan diri yang tidak bisa membantah Jun. Aluqa menenggelamkan dirinya, menyisakan sebatas hidung untuk bernapas.

Jun bilang akan menikahiku sebentar lagi. Dia akan menceraikan si Aluqa sialan itu.

Kalimat itu tiba-tiba terbesit dan menjadi bumerang bagi Aluqa. Bagaimana tidak? Biasanya Jun tidak segan membawa simpanannya ke rumah, tapi kenapa Aluqa tidak pernah melihat Lilis menginjak rumah ini. Dan Aluqa baru tahu jika Lilis adalah pacarnya Jun.

“Dia akan menikahi Lilis? Serius?” tanya Aluqa pada dirinya sendiri. Ya, sejak SMA Lilis tidak pernah menyerah mengejar Jun. Hanya saja ini kejutan karena dia berhasil mendapat pengakuan Jun.

Satu pertanyaan lagi muncul. Sejak kapan mereka berhubungan?

Ah terserah! Aluqa menenggelamkan diri sepenuhnya, menahan napas selama yang ia bisa. Dia menghukum dirinya yang memasuki kehidupan pribadi Jun. Ini tidak boleh! Aluqa harus membangun tembok pembatas antara dirinya dan Jun lebih tinggi.

Bersambung....











Seindah MawarWhere stories live. Discover now