The End of The Madness

112 7 12
                                    

Kedua kaki mungil Harold mengayun makin cepat, tapi entah kenapa jarak yang memisahkannya dengan sang ibu justru makin jauh.

"Ibu! Tunggu aku!"

Air mata yang telah diusapnya kini meruah kembali. Salah satu tangannya berusaha menggapai. Namun, sosok ibunya justru berubah menjadi daun-daun kering yang tertiup angin. Sementara itu, badan Harold justru terisap ke sebuah lubang hitam yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

... ...

Akhir musim dingin. 1926.

Harold bangkit terduduk di ranjang. Matanya masih nyalang menatap ke depan, sementara napasnya masih menderu kencang. Meski telah kerap mengalami mimpi yang sama, pria itu tak pernah terbiasa.

Kedua manik biru yang telah kehilangan cahaya itu memejam. Dada Harold terasa sesak. Namun, berbeda dengan mimpinya, dia tidak bisa meneteskan air mata setitik pun. Entah karena kelenjar air matanya telah lama mengering, atau karena dia telah mematikan hatinya sejak terbangun di ranjang rumah sakit dengan leher berbalut perban.

Jika dia masih sosok pria flamboyan yang pandai mengukir senyum di bibir, mungkin sekarang Harold akan tersenyum, atau malah tertawa karena hidupnya yang penuh ironi. Waktu itu, dia memutuskan untuk mengakhiri hidup karena tak ingin melihat ayahnya mencemooh kegagalannya. Namun, satu-satunya hal yang masih mengikat jiwanya agar tetap hidup justru rangkaian kalimat yang terakhir kali didengarnya dari pria itu.

"Kenapa kau tidak mati sekalian? Menyusahkan saja!"

Maka demi membuat keinginan ayahnya tidak terwujud, dia memutuskan untuk tetap hidup.

Harold menatap nanar ke dinding putih yang memerangkapnya. Polisi menemukan sebagian catatan penelitian yang dia selipkan ke saku jas waktu itu, juga beberapa elixir yang dia sembunyikan di dalam tas. Ditambah dengan kesaksian Richard dan juga mayat-mayat korban eksperimen yang dikubur Richard di taman belakang Myrtlegrove Estate, Harold dan Akio diputuskan bersalah. Namun, berkat bantuan asisten Henry Myrtle, mereka berdua berhasil menghindari hukuman yang lebih berat.

Alih-alih dijebloskan ke penjara, mereka justru ditempatkan di sebuah rumah sakit jiwa. Karena dianggap berbahaya, Harold dikurung di sebuah kamar khusus. Akio menyusul masuk belakangan. Karena sikap baiknya-dan mungkin juga dengan bantuan Viper Whetstone-pria dari timur jauh itu ditempatkan di bangsal yang tidak terlalu ketat dan diperbolehkan untuk beraktivitas di luar ruangan. Harold pernah memperhatikan Akio yang sedang sibuk mengurus kebun dari jendela kamarnya.

Sebenarnya Harold diperbolehkan sesekali keluar kamar, tapi pria itu lebih memilih mendekam di ruang sempit yang hanya berisi sebuah ranjang ukuran single, sepasang meja dan kursi kayu, serta sebuah ember kosong jikalau sewaktu-waktu dia ingin membuang hajat saat lampu bangsal telah dimatikan. Dia merasa tidak ada gunanya berusaha memberi kesan baik agar suatu saat dapat diizinkan kembali ke masyarakat. Tujuan hidupnya kini hanyalah menjadi noda hitam yang akan selalu mencoreng nama besar Leonard Wayne.

Sampai pagi datang, Harold tidak beranjak dari tempat tidurnya. Dia bahkan nyaris tidak bergeser dari posisi duduknya ketika seorang perawat datang membawakan sarapan untuknya.

"Aku menambahkan satu telur mata sapi untukmu. Jangan lupa dihabiskan," kata perawat itu. Pipinya bersemu kemerahan saat dia bertemu tatap dengan Harold.

Meski telah kehilangan sifat ramah dan senyumannya, wajah tampan Harold masih saja membuat para perawat salah tingkah.

Harold tak mengatakan apa-apa. Lebih tepatnya, dia tidak bisa berbicara apa-apa. Pita suaranya rusak karena kejadian waktu itu.

Perawat itu menunggu sebentar, tampak berharap Harold akan merespons saat dia coba mengajak bicara. Namun, seperti hari-hari sebelumnya, Harold hanya terdiam tanpa ekspresi. Dia tidak akan menyentuh piringnya sebelum perawat itu pergi.

The Charming Doctor (Completed)Where stories live. Discover now