𖧷 31. Penjelasan 𖧷

20.2K 1.1K 150
                                    

Vote, selalu.

♡♥︎

"Tungguin sana dulu!" tunjuk bang Jendra ke sofa panjang. Gue turutin. Si abang lagi ke resepsionis.

Tadinya cuma ada gue di sofa tunggu ini. Gue nemu majalah dan gue bolak balik aja, biar kesannya gue kek orang bener. Setelahnya ada dua orang datang ikut duduk. Outfit mereka rapi dan wangi. Bikin gue insecure.

Kalau bener gue nemenin abang kerja, kayaknya tampilan gue sungguh sangat tidak kece deh. Gue cuma pakai kaos polos sama celana jeans doang. Kek orang ilang. Apa gue ngumpet aja ya? Daripada gak meyakinkan dipandang klien. Abang sih gak rapi-rapi amat, tapi auranya udah mahal.

Gue masih sok asik bolak balik majalah ketika ada seseorang menyapa. Orang yang barusan duduk setelah gue.

"Hai, sendirian?" sapanya.

"Sama abang." jawab gue sambil nunjuk ke bang Jendra yang masih bicara sama mbak-mbak resepsionis.

"Oh. I see." dia mengangguk. "May i have your number?" dia kasih gue HP-nya. Senyumnya terlampir sebagai tanda pemikat.

Wow, agak mencengangkan ketika diajakin  berkenalan. Sama laki pula. Apakah aura gue sepelangi itu, sampai memikat lelaki tampan rupawan nan wangi macam dia?

Karena gue belum kenal, tentu saja gue tolak. "Maaf, nomer terlalu privasi."

Dia belum mau nyerah. "Akun instagram, maybe?" tawarnya lagi.

Gue tetep gelengin kepala. "Saya gak main sosmed. Maaf." gue sertakan senyum manis demi norma kesopanan.

Ujug-ujug nih bang Jendra datang. Dengen pedenya dia bilang, "He is taken." berikut dengan wajah mencurengnya. Gue ditarik sampai berdiri dan digandeng pergi dari tempat ini.

Cie, ada yang cemburu. Gue kalem, pura-pura tak berdosa.

Abang bawa gue masuk lift. Cuma kita berdua sih sebenernya, tapi kan kalau hotel mahal tuh, lift aja ada yang jagain. Yaudah sih, jadinya kita bertiga sama mbaknya.

Awalnya gue masih anteng. Dengan penuh keyakinan, gue mikirnya: menemani abang kerja. Barulah saat pintu lift terbuka, dan mbaknya memberi petunjuk arah, gue mulai bertanya-tanya dalam hati.

Kita jalan menyusuri koridor. Kanan kiri ada pintu yang tertempel nomer. Bukannya ini area kamar?

Sampai akhirnya kita berhenti di depan kamar nomer 507. Sebuah pertanyaan secara natural keluar dari gue. "Kita ngapain kesini, Bang?"

Bukannya jawab, si abang cuma menyeringai. Buka pintu dan gue ditarik masuk. Sedetik kemudian, gue tau bahaya apa yang akan gue hadapi di depan mata. Gue bakal dinakalin!

Terlambat buat kabur. Bang Jendra udah mepetin gue ke dinding. Senyumnya usil mengintimidasi. Ada kesan horor di matanya. Semacam Singa yang lagi ngincer mangsanya. Bahkan kedua tangan gue ditahan diatas kepala.

Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, gue muter otak. Masih niat menyelamatkan diri dengan mencoba segala kemungkinan.

"Jangan main drama deh!" semprot gue. Menolak romantis adalah jalan satu-satunya untuk selamat. Setidaknya begitulah pikiran gue sebelum bang Jendra mulai bertindak.

Kandas rencana gue. Si abang gak terpengaruh. Pelan-pelan dimajuin wajahnya dan mempertemukan bibir kita berdua. Kecupan singkat awalnya, semacam pemanasan. Gak menunggu lama, bibir gue udah dilumat tanpa persetujuan. Basah dan sedikit panas dari deru nafas.

Gue memang gak nolak, tapi gue juga gak segampang itu kasih akses, apalagi kasih balasan. Abang masih struggling mau main lidah. Bibir gue digigit-gigit, disesep sedemikian rupa sehingga mau gak mau pertahanan gue lemah. Akhirnya gue buka celah.

RAKSA (End) Where stories live. Discover now