CHAPTER 6 : Ke mana harus pulang?

1.2K 123 16
                                    

“Yang lebih menyedihkan dari tidak punya rumah sama sekali adalah ketika kamu memiliki dua tempat tinggal, tetapi tetap kebingungan ke mana harus pulang. Bukan karena keduanya sama meminta, justru karena mereka sama-sama tidak mengharapkan kamu ada.”
— Rumah Untuk Bayu

***

Selepas subuh tadi Fahmi dan Viona sudah bertengkar. Keduanya meributkan hal yang sama, ekonomi. Viona uring-uringan karena tahu Bayu dalam kondisi sakit, sedangkan dia tidak bisa melakukan apa-apa. Suaminya juga sudah berusaha mencari pekerjaan lain yang uangnya bisa langsung diterima seketika, tetapi sulit.

Pertengkaran tak dapat dihindarkan, hingga terlontar kata-kata yang sungguh membuat Viona marah.

"Kamu tahu aku orang susah, terus kenapa mau sama orang susah seperti aku?"

Viona sama sekali tidak bermaksud menyinggung bahkan melukai harga diri suaminya. Ia hanya terlalu bingung dengan situasinya sekarang. Susu Delta habis, beras tidak sedikit, Bian butuh bekal untuk sekolah. Bagaimana mereka melanjutkan hidup jika suaminya hanya pasrah menunggu pekerjaan datang?

Hingga waktu sarapan tiba, Viona masih berwajah masam, membuat suasana benar-benar tidak nyaman.

"Habisin makanannya, Bang. Maaf lagi-lagi ibu enggak bisa kasih makanan yang enak. Ayah kamu belum ngasih uang belanja. Beras aja tinggal sedikit dan sekarang dibagi buat berlima. Bayangin aja, susunya Delta habis, beras hampir habis, dan Bian butuh bekal buat sekolah. Kepala ibu rasanya mau meledak," papar Viona sembari menyuapi si bungsu.

Tujuannya bukan mengeluh, ia hanya frustrasi dengan ketidakmampuannya. Padahal, dulu Viona bisa mendapatkan bahkan memberikan apa pun dengan mudah.

Makanan yang belum sempat tertelan, mendadak pahit di mulut Bayu. Perutnya pun mual. Ada perasaan bersalah yang merambat memenuhi dadanya, mengundang sesak, mencetak sakit yang tak terjamah netra. Apalagi membayangkan adik-adiknya yang masih kecil sampai tidak makan.

"Ibu tuh semua diomongin di depan anak-anak. Mereka belum pantas mendengar apa yang barusan ibu omongin. Susahnya kita, cukup kita aja yang tahu."

"Biarin aja. Yang ngerti, kan, cuma Abang. Lagian, Abang enggak tinggal sama kita. Dia hidupnya udah enak karena papa tirinya kaya." Jangan lupa Viona masih keki mengingat apa yang dikatakan suaminya tadi.

Bayu membekap mulut, kemudian berjalan terhuyung ke kamar mandi. Pemuda itu membungkuk mengeluarkan isi lambungnya.

Perutnya sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit. Tidak ada hal menyenangkan seperti yang disebutkan ibu tirinya. Di sana Bayu tetap merasa tersiksa. Cukup membuktikan bahwa harta tak menjamin kebahagiaan seseorang. Di sini pun Bayu tidak ingin menjadi beban.

Fahmi tergopoh menyusul putranya, lalu memijat pelan tengkuk leher Bayu. "Kamu sakit, Bang? Telat makan lagi, ya? Bundamu enggak pernah ngingetin makan? Udah tahu lambungmu itu rewel."

Tak langsung terdengar jawaban. Bayu masih sibuk melayani hasrat mualnya, meski tak ada apa pun yang dimuntahkan.

Semula, niat Bayu berkunjung ke rumah sang ayah hanya untuk beristirahat sejenak dari segala penatnya. Ternyata, di sini pun Bayu justru dihadapkan pada situasi yang tak kalah sulit.

Sang ayah langsung mengulurkan gelas, memberinya minum setelah yakin Bayu tidak akan muntah lagi. Sementara sebelah tangannya tak berhenti mengusap punggung Bayu.

"Maafin ayah, ya, Nak. Seandainya ayah punya kerjaan tetap, mungkin kamu bisa di sini sama kita."

Bayu menyeka sudut matanya yang sedikit berair, kemudian menatap sang ayah dengan senyum yang sedikit dipaksakan. "Enggak apa-apa, Yah. Bunda tetap perhatian kok. Papa Mario sama kakak juga baik. Nanti kalau ada rezeki, aku main ke sini lagi. Bawa mainan atau makanan buat Adek."

Rumah Untuk Bayu | JJKWhere stories live. Discover now