CHAPTER 18 : Kekanakan yang sebenarnya

1.1K 134 16
                                    

"Mama mikir dong, kalau papa sanggup membiayai gaya hidup Mama yang kayak selebritis, mana mungkin papa enggak sanggup bayar biaya pemeriksaan Bayu. Mama enggak malu sama perhiasan dan tas bermerek yang Mama pakai ke rumah sakit? Segala bilang enggak mampu. Sumpah Ma, baru kali ini papa kecewa berat sama Mama."

Mario dengan emosi yang sudah di puncaknya langsung meledak saat melihat sang istri sudah duduk santai di rumah.

"Bayu yang minta pulang. Tanya aja sama anaknya kalau enggak percaya. Dia juga tahu diri, cuma anak tiri. Mana bisa aku melarang kalau udah begitu."

Tangan Fahmi terkepal mendengar penuturan mantan istrinya. Ia tidak mengerti mengapa Anggia bisa berbuat sejauh ini. Padahal, sewaktu mereka bersama, Anggia masih bisa memberikan kasih sayang yang lebih layak. Walaupun tetap Fahmi yang dominan karena perempuan itu sibuk bekerja.

"Ya tahu anaknya begitu, Mama cegah dong kalau emang sayang. Kasih dia pengertian, papa enggak akan pernah berpikir sedangkal itu. Bayu itu anak papa, enggak ada bedanya sama kakak."

Perempuan itu berdecak sebal. Bayu saja tidak protes saat diajak pulang, tetapi mereka ribut sekali. Apalagi ada sang mantan suami, Arsen, dan satu orang lagi ayah Arsen. Menjengkelkan. Mereka terlalu berlebihan memperlakukan Bayu, seperti Bayu sedang sekarat saja.

"Kalian itu enggak usah lebay. Bayu sehat kok. Dia lagi tidur sekarang. Katanya lebih nyaman di rumah. Tanya ayahnya, dia tahu banget kebiasaan Bayu kalau sakit. Jangankan ke rumah sakit, ke dokter aja enggak mau." Masalah kebiasaan mungkin benar, tetapi Bayu tidak mengatakan apa pun setelah sampai rumah.

"Lebay apanya, Anggia? Kamu tahu enggak alasan Bayu harus melakukan serangkaian pemeriksaan? Itu tandanya dokter curiga kalau di tubuh Bayu ada yang enggak beres. Mana mungkin pihak rumah sakit meminta keluarga mengeluarkan uang secara cuma-cuma kalau enggak ada masalah genting." Fahmi menanggapi.

"Diam kamu! Jangan bicara seolah kamu pernah ngasih segalanya buat Bayu. Jangankan kamar rawat VIP, kelas tiga aja kamu akhirnya nyusahin kita."

"Astagfirullah, Ma!" tegur Mario. Sejak kecil ia memang hidup berkecukupan, tetapi tidak bisa mentolerir orang yang merendahkan status sosial orang lain. "Mulutnya itu lho. Apa enggak dicontoh anak-anak kalau misalkan mereka dengar?"

"Terus aja terus. Gara-gara Bayu Papa jadi hobi marah sama mama. Kalau anak kita ada, dia pasti enggak terima mamanya diperlakukan seperti ini!" kata perempuan itu sembari berlalu dari hadapan mereka. Anggia muak. Bayu yang membuat kekacauan, tetapi selalu dirinya yang terkena imbasnya. Mungkin seharusnya dulu ia tidak membawa Bayu ke sini jika pada akhirnya hanya menimbulkan banyak masalah.

Mario geleng-geleng. Ia merasa tidak enak pada Fahmi dan juga tamunya. Kali ini Anggia sudah melewati batas. Tingkahnya sungguh kekanakan. Bayu saja bisa menyikapi segala sesuatu dengan dewasa, kenapa perempuan itu yang notabene ibunya tidak?

"Saya minta maaf atas nama istri."

"Enggak apa-apa. Sekarang kita lihat Bayu aja. Di mana kamarnya?" Rasya yang bicara.

Mario melangkah, menuntun tamunya ke kamar Bayu.

Begitu sampai, pria itu mengetuk pintu. "Bayu, papa boleh masuk?"

Masih tak terdengar jawaban kendati berulang Mario mengetuk pintu yang sesekali diiringi panggilan.

Di kamar sebelah, Wil yang tengah tidur merasa terusik dengan suara-suara di luar. Pemuda itu memaksakan diri menegakkan tubuhnya, kemudian bergerak ke luar kamar. "Ada apa, Pa?"

"Bayu kelihatan di kamar enggak, Kak?"

Alis pemuda itu bertautan. "Lho, udah pulang? Aku pikir masih di rumah sakit," sahutnya bingung. Karena merasa tidak enak badan, Wil memilih tidur sepulang sekolah tadi. Entah terlalu nyenyak atau memang ia tak mendengar apa pun dari kamar adiknya. "Tapi, dari tadi enggak kedengaran apa-apa kok. Langsung buka aja, Pa."

Arsen melempar tatapan curiga. Ia tidak akan lupa bagaimana Wil memperlakukan sahabatnya selama ini.

Mario sendiri mengangguk patuh, lantas menggerakkan tangannya memutar knop pintu yang sontak membuat sosok di dalam sana terperanjat dan refleks menyembunyikan sesuatu yang semula dipegangnya. Sayang, semua terlambat karena kedua netra Mario lebih dulu menangkapnya.

"Apa itu? Kenapa selimutnya?

"Selimutnya ba-basah, Pa. Keringatku banyak," sahutnya terbata.

Jika memang hanya keringat, kenapa Bayu harus segugup itu? Akal sehat Mario menolak keras alibi putranya, begitupun yang lain. Mereka justru semakin curiga saat diam-diam tangan Bayu bergerak membenahi benda itu, kemudian memegangnya semakin erat.

"Yung, lo enggak apa-apa?"

Bayu menggeleng tegas.

Wil menangkap gelagat aneh adik tirinya. Tanpa bicara apa pun, pemuda itu merebut selimut yang disembunyikan di belakang tubuh Bayu. Kelopak matanya refleks melebar melihat noda merah kehitaman di salah satu sisi selimut. "Da-darah?"

Fahmi, Rasya, dan Arsen kompak mendekat, sementara Mario sibuk memindai tubuh putranya karena takut Bayu terluka. Fahmi mengikuti.

"Kamu muntah darah, Nak?"

Pertanyaan Rasya langsung menghentikan kegiatan dua orang dewasa itu.

"Perutnya sakit?" tanya Rasya lagi sembari menyentuh perut Bayu.

Bayu melirik papa dan ayahnya takut-takut. Ia tidak bisa berpikir, apalagi mencari alasan. Rasa tidak nyaman di perut juga mulut menumpulkan akal sehatnya. Bayu merasa seperti baru saja menelan serbuk besi. Namun, suara ayah sahabatnya kembali terdengar.

"Kamu mungkin bisa bohong sama kedua ayah kamu, Bayu. Tapi, kamu enggak akan bisa bohong sama om."

Bukanya menjawab, Bayu justru menatap papanya. Pemuda itu menggenggam tangan Mario, lalu berkata, "Papa, jangan bilang bunda. Nanti bunda khawatir."

Hati Fahmi sakit mendengarnya. Jangankan khawatir. Anggia justru menganggap Bayu sumber masalah dan hanya merepotkan. Lebih menyedihkannya lagi karena Fahmi dituntut untuk mengakui bahwa saat ini memang Mario yang lebih dibutuhkan putranya.

"Tapi, kita ke rumah sakit, ya?" bujuk Mario.

"Bunda trauma sama rumah sakit, Pa. Setiap ke rumah sakit bunda ingat adek. Aku enggak mau bunda sedih. Lagian, aku enggak sakit. Kalau aku sakit nanti bilang," ujar Bayu. "Janji," lanjutnya sembari mengacungkan kelingkingnya.

Mario menatap Fahmi juga Rasya bergantian, dan mereka kompak mengangguk sebagai jawaban. Karena sudah mengenal Bayu cukup lama, mereka tahu betul janji kelingking berarti serius.

"Bayu janji, kalau berasa sakit langsung bilang sama papa."

Anak itu mengangguk. Pandangannya teralih pada sang ayah yang sedari tadi belum diajak bicara. "Ayah, makasih udah datang," katanya dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

Fahmi memeluk putranya erat. Ia merasa gagal sebagai seorang ayah. "Ayah minta maaf."

"Ayah enggak salah apa-apa."

"Mau tinggal lagi sama ayah? Ayah janji bakal kerja lebih keras buat kalian."

"Buat sekarang aku mau sama bunda, Yah."

Menyadari kecemasan di wajah mantan suami sang istri, Mario akhirnya berkata, "Jangan khawatir. Saya akan memastikan Bayu baik-baik aja. Saya langsung yang akan mengawasi."

"Saya titip Bayu."

"Dia juga anak saya. Saya akan melakukan yang terbaik semampu saya."

Fahmi hanya tersenyum.

"Tolong kabari om terus, Bayu. Bilang apa pun yang kamu rasakan. Om juga akan terus memantau kondisi kamu."

"Makasih, Om," ujar Bayu tulus. Entahlah, terlepas dari sikap buruk sang bunda, Bayu tetap merasa beruntung karena dikelilingi orang-orang yang mengayanginya. Namun, hati tak bisa berbohong. Di saat bersamaan Bayu juga mengharap kasih sayang yang sama dari sang bunda. Bunda, kapan Bunda sayang aku lagi? tanyanya dalam hati.

|Bersambung|

Kalau ada yang nanya mana part-part terbaru kedekatan Bayu dan sahabatnya, Bayu dan ibunyaa. Pasti ada tenanggg ajaaa, aku udah bilang kalau Rumah Untuk Bayu ini chapternya lebih banyak dari Goodbay-u. Jadi, kalian bakal puas bangeet.

Maaf banget sampe hari ini aku masih belum bisa ngobrol sama kalian, sibuk nguli dan berusaha tetap waras 😅

Rumah Untuk Bayu | JJKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang