CHAPTER 30 : "Maaf, Bu."

1.1K 111 18
                                    

Mario refleks membuka mata saat tangan mulus seseorang melingkar di pinggangnya. Pria itu menoleh sebentar, menghela napas, kemudian mengambil bantal dan melenggang keluar kamar.

Menghindar? Mungkin. Mario hanya merasa tidak nyaman berada di dekat Anggia. Bukan apa-apa, setiap melihat wajah perempuan itu Mario selalu disergap rasa bersalah. Bukan pada Anggia, tetapi Bayu.

Ucapan Tegar hari itu menamparnya kuat-kuat. Bagaimana bisa selama ini Mario begitu percaya pada Anggia dan membiarkan sang istri memperlakukan Bayu sesuka hati. Meskipun Bayu bukan putra biologisnya, Mario tetap menyayangi anak itu, dan berhadapan dengan Anggia setiap saat membuatnya merasa telah turut menyiksa Bayu.

"Pa, kenapa tidur di sini?" tanya Wil bingung ketika melihat papanya tengah mengatur posisi tidur di sofa.

"Nyari suasana baru," sahut Mario sekenanya. "Kamu kok bangun jam segini, Kak?"

Wil mengacungkan gelas di tangan. "Pengin minum, Pa."

"Langsung tidur lagi, ya. Masih malam."

Pemuda itu mengangguk saja. Jujur, Wil merasa sedih melihat kondisi orang tuanya sekarang. Mereka bertengkar setiap saat untuk alasan apapun. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan apa yang dilakukan sang mama. Jika mamanya bisa berlaku separah itu pada Bayu yang berstatus sebagai anak kandung, bukan tak mungkin hal yang sama akan terjadi pula pada Wil suatu hari nanti.

Setelah mengambil minum, Wil tak langsung kembali ke kamarnya. Anak itu justru duduk di sofa memandangi papanya yang mulai terlelap. Wil sadar, papanya pasti lelah. Setelah disibukkan dengan urusan kantor, begitu kembali ke rumah pun bukannya mendapat tempat untuk beristirahat malah dihadapkan pada banyak permasalahan.

Mario yang belum benar-benar tidur, kembali membuka mata begitu mendengar Wil yang berulang kali menghela napas berat. Pria itu menegakkan tubuhnya, lalu bertanya, "Kak, kenapa malah ke sini? Kenapa enggak tidur lagi?"

"Kenapa Papa enggak lepasin mama kalau Papa enggak bahagia?"

Pertanyaan itu terang saja membuat Mario tertegun.

"Aku emang sayang sama mama. Tapi, aku enggak bisa lihat Papa enggak bahagia. Kalau Papa bertahan sama mama cuma gara-gara aku, sekarang aku minta lakukan apapun yang bikin Papa bahagia. Aku mungkin kehilangan mama nantinya, tapi aku lebih enggak mau kehilangan Papa. Papa itu orang tua kandungku, orang yang enggak bakal ngebuang aku. Iya, 'kan, Pa?"

Mario tersenyum, kemudian mendekat ke arah putranya. Direngkuhnya tubuh Wil, seraya berkata, "Papa bahagia selama kamu di samping papa. Yang membuat Papa berat melepaskan mama kamu adalah janji papa sama Bayu. Dia mau berobat dan berjuang buat sembuh kalau papa tetap sama bundanya."

Dalam dekapan sang ayah, Wil menyahuti, "Dasar anak bodoh. Kenapa dia harus repot-repot memikirkan orang yang bikin dia sakit terus?"

"Bagi Bayu, mama kamu itu segalanya. Dia bersedia melakukan apapun, termasuk menjual kebahagiaannya sendiri. Papa enggak tahu orang-orang menilai dia seperti apa, tapi papa melihat ketulusan di mata dia. Semua yang dia lakukan bukan pura-pura."

"Pa, apa aku yang bikin mama jadi jahat sama Bayu?"

Pelukan Mario terlepas. "Enggak, Nak. Sebagai seorang ibu, mama kamu harusnya bisa membagi dengan adil kasih sayangnya. Bukan salah kamu kalau kamu menerima kasih sayang dan perhatian yang lebih besar dari mama."

"Aku ngerasa bersalah, Pa. Karena aku Bayu harus kehilangan kasih sayang dari mama. Coba aku enggak pernah ada, mungkin mereka bahagia."

"Mulutnya, Nak. Jangan bicara begitu. Semua yang terjadi benar-benar di luar kendali kita sebagai manusia. Kamu ada atau enggak pun, kalau itu harus terjadi, pasti terjadi."

Rumah Untuk Bayu | JJKजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें