CHAPTER 7 : Ancaman

1K 103 6
                                    

"Bangun lo."

Wil yang sedang menelungkupkan kepalanya di atas meja tersentak saat tiba-tiba Hanin menggebrak mejanya. Pemuda itu mengangkat kepalanya kemudian bertanya, "Apaan, sih?"

"Gue, tuh, enggak ngerti sebenarnya apa yang bikin lo segitu bencinya sama Bayu? Selama ini gue diam karena menghormati lo sebagai kakaknya, tapi apa yang lo lakukan? Setiap hari lo makin keterlaluan."

"Gue ngapain?" tanya Wil dengan wajah polosnya.

"Mau gue jabarin kesalahan lo? Adik lo lagi sakit, kalau lo enggak bisa bantu, seenggaknya jangan ngomong aneh-aneh. Gue dari tadi nahan diri, tapi daripada meledak sendirian mending gue lampiasin ke elo. Elo juga gitu, kan, biasanya? Lo sadar hidup lo menyedihkan, tapi melampiaskan itu ke Bayu? Picik. Kalau enggak punya hati minimal punya otaklah."

Tangan Wil terkepal kuat hingga buku-buku tangannya memutih. Ia marah mendengar apa yang dikatakan Hanin, tetapi lebih marah lagi karena hati kecilnya membenarkan semua itu. Hidupnya memang menyedihkan. Dia ditinggalkan, penuh ketakutan, juga tidak punya teman, dan semua itu dilampiaskan pada Bayu yang berpotensi mengambil satu-satunya milik Wil, sang mama.

"Kenapa lo diam? Sakit hati karena semua yang gue bilang tadi benar? Lebih sakit mana sama Bayu? Dia bahkan tetap sayang sama lo walaupun lo terus bikin dia ngerasa sakit. Tapi, mulai hari ini ... gue enggak akan diam, Wil. Sekali lagi lo bikin Bayu sakit, gue pastiin lo bakal ngerasain sakit yang sama."

Hanin tahu dia kurang ajar. Andai Bayu mengetahui apa yang Hanin lakukan hari ini pun anak itu pasti marah. Namun, ia tidak tahan melihat Wil memperlakukan Bayu semaunya.

"Gue serius, ya, Wil." Puas memaki, Hanin melangkah meninggalkan Wil.

Selepas kepergian Hanin, Wil tersenyum, kemudian menggigit bibir bawahnya. Jangankan nanti, saat ini saja Wil dipaksa untuk mengakui rasa sakitnya karena kata-kata menyakitkan itu dilontarkan oleh perempuan yang dia anggap penting.

Hanin melangkah menuju UKS. Ia berusaha terlihat senormal mungkin. Keempat sahabatnya tidak ada yang tahu Hanin menemui Wil tadi, dan dia berharap tidak ada yang usil membocorkan.

Begitu sampai, Hanin mendapati Bayu masih berbaring di sana dengan Arsen, Aries, Sabil, dan Naren yang mengelilingi.

"Belum sadar?" tanya Hanin.

Sabil menoleh ke sumber suara, kemudian menjawab, "Udah tadi, tapi pusing katanya."

"Lo dari mana?" tanya Aries.

Wajar pemuda itu curiga karena biasanya jika terjadi sesuatu pada Bayu, Hanin yang paling cepat mendampingi atau membantu. Namun, gadis itu malah menghilang. Padahal, sejak di kelas rusuh sekali ingin segera melihat kondisi Bayu.

"Ngambil charger gue dulu di kelas sebelah."

Sepasang alis tebal Aries saling bertaut, tampak jelas tidak percaya. Nyaris tidak mungkin Hanin meninggalkan Bayu dalam kondisi sakit hanya karena sebuah charger.

"Sen," panggil Bayu.

Arsen menoleh cepat. "Kenapa, Yung?"

Kali ini Hanin selamat karena suara Bayu berhasil mengalihkan perhatian semua orang.

"Pengin muntah."

Sontak mereka semua panik. Dalam kondisi seperti sekarang, mereka tidak mungkin memapah Bayu ke kamar mandi. Arsen melebarkan pandangannya mencari sesuatu, tetapi ia tak mendapati apa pun di sana. Sampai kemudian Sabil mengulurkan sebuah keresek bening bekas makanan yang mereka bawa untuk Bayu.

Aries membantu Bayu bangun, sedangkan Naren pergi untuk mencari minuman hangat.

Bayu mual parah, tetapi tidak ada apa pun yang dimuntahkan.

Arsen mengambil ponselnya, kemudian menghubungi sang papa. Ia tidak punya pilihan selain melakukan itu karena di UKS hanya tersedia obat seadanya.

"Halo, Pa. Papa lagi sibuk enggak? Aku mau tanya, tadi Bayu pingsan. Sekarang udah sadar tapi ngeluh pusing sama mual. Mualnya agak parah dan lambungnya bermasalah beberapa hari ini, obatnya apa, ya, Pa?"

Di seberang sana papanya menjelaskan, dan Arsen mendengarkan dengan saksama.

"Nanti aku bujuk buat ke rumah dulu deh," ucap Arsen akhirnya.

Jujur, Arsen sedikit kecewa dengan jawaban yang didapat, tetapi benar apa yang dikatakan papanya bahwa Bayu harus diperiksa lebih dulu.

Tak berselang lama Naren kembali membawa minuman hangat. "Yung, minum dulu."

Namun, Bayu mendorong gelas itu menjauh. Untuk sekarang ia sedang tidak ingin memasukkan apa pun ke dalam perutnya.

"Kalian balik ke kelas aja. Gue enggak apa-apa."

Walaupun tidak tega meninggalkan Bayu, mereka akhirnya mengangguk patuh karena guru mata pelajaran selanjutnya di kelas mereka terkenal tegas. Siapapun yang terlambat pasti dihukum.

***

Kata-kata Hanin masih terngiang di telinganya. Bagaimana gadis itu marah bahkan mengancam akan membalas jika Wil berani menyakiti Bayu masih begitu lekat dalam ingatan. Hanin yang berlebihan atau memang benar Wil yang keterlaluan terhadap Bayu?

Setelah mohon izin, pemuda itu mengayunkan langkah meninggalkan kelas. Wil tidak bisa berkonsentrasi penuh pada pelajaran dan memilih izin untuk ke kamar mandi sebentar sekadar membasuh wajah. Namun, entah mengapa sepasang kaki jenjangnya justru membawa Wil ke UKS. Mungkin karena sampai pelajaran terakhir Bayu tak juga kembali ke kelas.

UKS tak segaduh sebelumnya. Hanya ada Bayu bersama anak PMR yang bertugas hari ini. Pemuda itu tampak damai dalam tidurnya, membuat sang penjaga tak terlalu cemas meninggalkan Bayu sebentar sekadar untuk membelikannya makanan andai anak itu bangun nanti.

Setelah memastikan tak ada siapa pun di dalam sana, Wil masuk. Ia menyibak tirai perlahan, mencari keberadaan saudara tirinya. Ia hanya ingin memastikan apakah Bayu sungguh sakit atau hanya berpura-pura untuk mencuri perhatian banyak orang seperti yang selalu dilakukannya di rumah.

Ragu, Wil mengulurkan tangan menyentuh dahi pemuda yang terbaring lemah di hadapannya. Kelopak matanya melebar mendapati hawa panas begitu kentara.

Dulu saat mereka kecil, setiap Bayu sakit, Wil bersikeras ingin menjaganya. Namun, saat sadar semua orang lebih perhatian terhadap Bayu, Wil mulai ketakutan. Ia takut kembali ditinggalkan. Ketakutan itu mendorongnya melakukan segala cara agar hanya dia yang menjadi pusat perhatian, bukan Bayu.

Wil masih mematung memandangi sang adik. Ada perasaan iba melihat adiknya tampak begitu lemah. Apalagi, ketika mengingat perbuatannya tempo hari yang mengharuskan Bayu menghabiskan uang jajannya. Bisa jadi sakitnya Bayu sekarang karena ulahnya. Bayu tidak pernah sarapan di rumah dan Wil tahu betul keluarga ayah kandung Bayu juga hidup serba kekurangan. Anak itu juga terkenal gengsian dan tidak suka dikasihani. Jadi, bisa dipastikan ketika kelaparan pun Bayu akan memilih diam.

Dia kembali mengulurkan tangan, kemudian mengusap puncak kepala Bayu. Dalam hati ia mengucap maaf. Sedikit pun tidak ada niatan berbuat jahat. Wil hanya tidak suka semua orang menaruh perhatian pada Bayu, apalagi papa dan mamanya.

Gerakannya sontak terhenti saat adik tirinya tiba-tiba membuka mata. Wil sampai termundur saking kagetnya. Bukan takut, hanya malas bila sang adik menyimpulkan macam-macam.

Bayu tak langsung bereaksi. Pemuda itu mengerjap beberapa kali sembari menatap sosok yang berdiri di hadapannya. Apakah Bayu bermimpi?

"Ka-kak ...."

- Bersambung -

Maaf agak lama, ya. Aku sibuk beberapa hari ke belakang.

Rumah Untuk Bayu | JJKWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu