PROLOG

1.7K 60 2
                                    

Hallo aku Issa!

Di sini aku ingin mengenalkan naskah pertama aku, Kisah Issa dan Sangkara yang bisa kalian baca di wattpad Issapointofview2 :D

Selamat membaca, Teman-Teman :D

PROLOG

Hujan di luar masih mengguyur saat aku mengambil satu tas besar dan beberapa potong pakaian dari almari kayu jati berwarna cokelat yang mulai memudar. Suara pintu kamar terbuka dan langkah tegas yang mendekat tidak aku indahkan. Tangan bergetarku tetap melipat pakaian asal-asalan supaya bisa muat dalam tas.

"Issa, mau ke mana kamu?!"

Suara lengkingan itu menusuk gendang telingaku, tetapi aku tetap diam. Aku tidak punya banyak waktu. Aku harus pergi sekarang juga.

"Issa! Kamu nggak dengar Bunda?"

Usai menutup ritsleting, aku segera menggendong tas dan saat berbalik, berhasil menemukan tubuh Bunda di ambang pintu kamar dengan tatapan tajam, seakan tengah mengancam. Jika tetap nekat pergi, mungkin aku akan menyesal. Namun, bukannya takut, aku membalasnya dengan tatapan menantang.

"Aku mau pergi. Aku mau tinggal sama Nenek daripada aku harus tinggal di sini."

Sekuat mungkin aku berusaha keras menahan genangan air mata yang hendak menguar turun karena rasa sesak di dadaku. Meskipun keberanianku begitu besar, aku tetap tidak bisa menyembunyikan gemetar tubuh yang semakin menjadi karena rasa takut saat harus melawan orang yang selama ini telah melahirkan dan membesarkanku.

Satu langkah Bunda yang mendekat, sama dengan satu langkahku yang surut ke belakang. "Kak..." Suara Bunda terdengar lebih lembut.

"Rumah kamu kan di sini, Kak," lanjutnya lirih.

Aku tersenyum getir. Wanita yang kupanggil Bunda itu mungkin sudah terlalu lelah menghadapiku, begitu pula aku yang lelah bertahan di rumah ini dengan segala tekanan yang aku hadapi.

"Rumah, ya, Bun?" Lalu kembali menatap Bunda dengan air mata yang sudah luruh. "Bukannya rumah itu tempat di mana segala keluh kesahku didengar, ya? Tapi, kenapa di sini nggak ada yang mau dengerin apalagi percaya sama aku?"

"Kak...."

Bibirku menipis ketika menyadari Bunda tak lagi bisa menjawab ucapanku. Dalam hati, aku tertawa getir. Seharusnya, aku tahu, sampai titik akhir pun, Bunda tidak akan pernah berada di pihakku.

"Bunda tahu nggak, aku jadi bertanya-tanya, andai Ayah masih hidup, mungkin nggak, sih, kalau Ayah jadi satu-satunya yang percaya sama aku dan jadi orang pertama yang membelaku?"

"Berhenti berandai-andai!"

Aku seketika itu terperanjat mendengar bentakkan Bunda.

"Kamu itu belum sempat mengenal Ayah kamu. Kamu hanya punya bunda dari kamu kecil. Berhenti berharap Ayah kamu masih hidup, Kak!"

"Cuma punya Bunda? Nggak. Aku juga punya nenek dan kakek yang selalu bersamaku karena bunda kerja, kan? Aku sudah terbiasa hidup dengan mereka kok," tegasku.

Aku mengakui bahwa aku selalu terjebak dengan harapan Ayah yang masih hidup, selalu berpikir andai Ayah masih hidup... mungkin aku tidak sendirian. Aku tahu mungkin aku tidak mengenalnya secara langsung, hanya melalui cerita Bunda. Namun, bagiku Ayah adalah orang yang aku harapkan. Sosok pengertian dan pendengar yang baik, itu yang selalu Bunda ceritakan.

"Aku tetap mau pergi," ulangku sebelum beranjak. Nyatanya, hingga detik berikutnya, Bunda hanya diam. Akhirnya, aku memutuskan benar-benar pergi dari rumah. Sebuah rumah di mana semua kenangan masa kecilku terukir. Sayangnya, kini, tempat ini sudah tak lagi bisa aku sebut rumah. Tapi, hanya tempat berteduh. Pada akhirya, aku mencoba mencari sosok pengisi kenangan manisku. Namun, aku tak tahu harus ke mana dan siapa orangnya.

Dan... dari sinilah kisah perjalananku dimulai.... []

Kisah Issa & SangkaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang